Pengakuan

10.3K 581 13
                                    

......

Blitar pukul 01.00 WIB

Veve masih mencoba memejamkan mata, tubuhnya sudah dua jam lalu berada di atas kasur, tapi tak juga mampu tertidur. Ia berulang kali melirik tempat kosong di sampingnya. Fatrial sedang di rumah sakit, tugas malam. Sudah dua hari ini tak banyak kata yang Fatrial keluarkan, ia lebih banyak diam.

Ya, sejak telepon berupa ajakan memaksa itu datang, sejak Veve mengungkapkan tentang ketakutannya. Entah kalimat itu sebagai cambukan atau beban baginya, tapi Fatrial mulai menarik diri.

Entah kenapa tiba-tiba semua terasa sesak dan gelap. Veve menatap langit-langit kamar yang masih terlihat jelas ornamennya, karena lampu kamar tak ia matikan. Rumah yang sudah ia tinggali selama lima belas hari itu kian terasa asing.

Perang mulut, ketidaksepahaman antara satu dengan yang lain, juga keraguan untuk saling mendekat dan mengerti. Ia tak merasakan kehangatan rumah tangga, ia tetap merasa seperti orang asing bagi Fatrial.

Lelaki itu memang tak menyakitinya, tak menunjukkan sesuatu yang membuatnya berpikir untuk mundur, dia lelaki yang baik. Namun sebaik apa pun lelaki ketika belum hadir cinta yang menjadi pondasi rumah tangga, tetaplah bangunan itu bisa roboh kapan saja, ia akan segera hancur jika tak segera diperbaiki dengan tindakan nyata.

Veve menarik napas, menahan kegelisahan, ketakutan dan kesedihan yang entah sejak kapan telah membuat pipinya basah. Setiap kali memikirkan masa depan rumah tangganya, semua terasa sesak dan mencekat tenggorokan.

Ia mengusap airmatanya, lalu meraih handphone di sebelahnya. Mengetik pesan singkat untuk Fatrial. Jujur ia tersiksa dengan keadaan saat ini, saat Fatrial memilih untuk berpikir sejenak dan menyendiri.

Ia beberapa kali mengetik, lalu menghapus, mengetik dan menghapus lagi. Ia rindu, sangat rindu. Andai saja ia lebih cukup berani untuk maju, ia akan mengatakan rasa cinta itu, ia akan memeluk lelaki itu seeratnya, tapi apa yang bisa ia lakukan jika Fatrial memilih menarik diri.

Ia malu jika harus mengemis cinta, tapi ia telah mencintai lelaki itu. Cinta yang tumbuh perlahan dan mencekiknya setiap saat. Kini pikirannya kian berat, ia sadar selama berumah tangga memang banyak hal yang membuat Fatrial merasa marah dan kecewa, entah dari sikap maupun perkataannya yang membuat beban bagi suaminya itu.

Bagaimana cara mengobati rindu yang semakin menyiksa ini? aku istrinya, tapi bahkan aku belum pernah dipeluk olehnya.

Tubuhnya terguncang oleh isak yang tak lagi mampu ia tahan. Tubuhnya seperti bangunan yang telah roboh, hancur berkeping-keping.

Apakah seperti ini kehidupan berumah tangga? Andai saja ia tahu akhirnya akan sesulit ini, mungkin ia akan lebih memilih menolak dan tidak melanjutkan ta’aruf saat itu, tapi takdir telah berlanjut, dan tak ada yang bisa dilakukan selain terus bersabar.

Secepatnya Veve mengusir pikira buruk itu, ia tak akan berangan-angan lagi, ia akan menghadapi takdirnya. Sesulit apa pun di depan sana.

“Ya Allah, aku merindukannya.” Veve membekap mulutnya, menangis sejadinya. Ia tumpahkan semua airmata dan emosi yang ada.

Ia putuskan untuk mengambil air wudlu dan sholat tahajud. Ia tau hanya Allah yang mampu merubah segalanya, yang mampu membolak-balikkan hati manusia, dan ia berharap besar cinta itu hadir di antara mereka.

@@@

Ruang tunggu umum, pukul 01.15 WIB

Fatrial duduk sendiri di ruang tunggu, menundukkan kepala sambil menggeser-geser jempolnya di atas layar iPhone. Tidak jelas melakukan apa, ia hanya terus menggeser folder berisi foto-foto pernikahannya, melihat, menggeser dari foto satu ke foto yang lain, dan begitu seterusnya.

Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang