.......
Fatrial merapatkan mobilnya di antara mobil-mobil yang terparkir di parkiran alun-alun kota. Ia masih melihat kesedihan terpancar dari wajah istrinya meskipun Veve tak mengungkit-ungkit perlakuan keluarga Aina padanya, juga tak menunjukkan kelemahannya di depan Fatrial. Ia berusaha bersikap biasa saja. Namun Fatrial mengetahui dengan jelas rasa sakit yang istrinya sembunyikan.“Loh, kok berhenti di sini?”
“Nongkrong sebentar ya.”
Kemudian mereka memilih tempat duduk di bawah pohon yang berdiri di sepanjang sisi alun-alun, melihat berbagai aktivitas orang-orang di lapangan besar yang ada di depan mereka, ada yang bermain basket, bahkan ada pula pertunjukan orkestra. Semua berbaur menjadi satu di lapangan hijau tersebut.
“Aku ingin melepas lelah di sini. Sudah lama tidak nongkrong di sini.”
Fatrial mendesah, berusaha mencairkan suasana, ia tak ingin melihat mendung terus-menerus bergelayut di wajah istrinya. Namun justru Veve terdiam, ia hanya menatap orang-orang berlalu-lalang di depannya, mencoba membuang rasa sakit yang masih tersisa karena ucapan ibunya Aina.
Fatrial menoleh, mengamati wajah istrinya dari samping, mencari apakah sorot mata itu masih meredup. Ya, bahkan kini airmata telah mengalir perlahan. Tidak ada suara, Fatrial hanya terdiam melihat Veve mengusap airmatanya.
“Aku merasa seperti memakai sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran kakiku.”
Fatrial merasa ada yang mencekik tenggorokannya.
“Orang dihormati karena profesinya” tambah Veve di antara isak, lalu memeluk kedua lututnya.
“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak menerima undangan itu.” Fatrial tertunduk merasa bersalah.
Veve menarik napas, kembali mengusap airmata.
“Aku merasa Dokter Aina menyukaimu, juga keluarganya. Duduk di antara kalian membuatku seperti orang bodoh. Meskipun aku sudah mencoba untuk membuang pikiran buruk itu, tapi tetap saja aku masih rendah diri. Seolah tak layak bersama lelaki sepertimu.”
Fatrial terdiam, meremas kedua tangannya demi menahan gejolak di hatinya.
“Aku tak ingin berharap banyak. Hanya bisa berjalan sesuai energi yang kupunya, jika suatu saat kakiku lelah dan terhenti, aku berharap masih ada tempat untuk kita bertemu.”
Rasa sesak di dada Fatrial kian membuat tubuhnya memanas, kalimat yang Veve lontarkan membuat emosinya naik. Kalimat itu sudah menjadi bukti nyata bahwa Veve ingin menyerah, padahal perjalanan baru saja dimulai.
“Kenapa? Apa kau tak ingin berharap kebahagiaan dari rumah tangga yang kita bangun? Apa kau tak ingin suatu saat kita saling mencintai? Apa kau tak ingin mempertahankan rumah tangga ini?” terdengar jelas emosi dari nada pertanyaan itu. Bahkan tatapan tajam Fatrial sudah cukup membius dan membungkam mulut Veve.
Perempuan berjilbab itu memilih diam, memilih menahan airmata. Ia sadar, mungkin kalimatnya telah membuat Fatrial marah, tapi ia tak sanggup untuk terus diam dan menahan semua.
“Saat ini mungkin aku belum bisa menjadi suami terbaik untukmu, juga belum bisa mencintaimu layaknya suami pada istrinya, tapi bukan berarti aku ingin menyerah. Aku berusaha untuk membangun bersamamu, dan apa yang kau katakan tadi sungguh membuatku sakit.”
Kini airmata Veve membedah, bahkan tubuhnya terguncang.
“Kau benar, awalnya orangtua Aina mengharapkan aku menikah dengannya, tapi aku berpikir panjang untuk mengambil jawaban itu di saat aku telah mengetahui kau perempuan seperti apa, sehingga kuputuskan untuk memilihmu. Bukan karena sungkan atau kasihan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomantizmAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)