BAB 3

4.7K 484 6
                                    

Nightmare.

Jam sebelas kurang dua puluh menit aku  masih terjebak bersama angka-angka sialan yang memuakkan, bibirku tidak berhenti komat-kamit mengeluarkan sumpah serapah. Aku tidak sendiri, bersama Pak Kavin Manager datar yang seenak jidatnya menyuruhku untuk lembur.
Sudah kurang dari dua minggu aku selalu terjebak dengan Pak Kavin sampai larut malam, meskipun ya nanti sesuatu yang masuk rekeningku akan berlipat tapi tetap saja aku tidak terima jika setiap hari  harus lembur.

Sudah banyak janji yang aku batalkan dengan teman-teman, entah untuk sekedar pergi nonton, makan ataupun berbelanja tentunya. Ini semua gara-gara sang Manager yang super datar, dingin, minim ekspresi, irit bicara, dan tidak suka ditolak itu.

"Hufffttt." Aku mendesah frustasi, gilaaakk cape. "Pak sampai kapan kita disini saya cape ?" tanyaku.

"Sampai ini selesai." jawabnya datar.

"Ini udah jam sepuluh Pak." kataku sedikit jengkel.

"Jam sepuluh kurang dua puluh dua menit." jawabnya.

"Terserah." sahutku ketus.

Entah mengapa ketika berhadapan dengan Manager baru ini aku selalu bersikap seperti ya semacam ketus atau apalah itu, kamu wajib tau sepertinya tensi darahku akan naik setiap kali berinteraksi dengannya. Tidak seperti pada Pak Rahman aku bisa merengek-rengek manja seperti pada ayahku sendiri.

"Manager yang tidak ber-keperigawaian." gerutuku sepelan mungkin.

"Saya dengar itu." katanya masih dengan fokus pada layar monitornya. Aku mendelik sebal pada Pak Kavin yang saat ini ia tengah mengisi kubikel Mas Arfin yang berhadapan langsung dengan kubikelku.

"Kenapa sih harus selalu saya yang jadi korban lembur ?" tanyaku.

"Arfin dan Sela punya anak, kasian." jawabnya datar.

"Terus kenapa ga si kunyuk aja ?" tanyaku nyolot. Pak Kavin mengernyit, menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti apa yang aku maksud. Si kunyuk itu Dika. Aku yang mengerti akan ekspresi bosku langsung meluruskan apa yang aku maksud.

"Ehm maksud saya Dika, kenapa ga Dika aja yang lembur ?" alih-alih menjawab pertanyaanku, Pak Kavin hanya mengangkat bahunya acuh. Tuh tuh kan ... ya ini nih salah satu kelakuan dia yang membuat tensi darahku naik.

"Ergghh... Bapak tau ga sih malam minggu ini saya harusnya pergi clubbing bukannya ngurusin angka-angka memuakkan ini dan terjebak sama bapak yang super nyebelin." Pak Kavin mendongakkan kepalanya menatapku. Shit, tatapannya nyeremin.

"Clubbing ?" tanyanya datar.

"I-iya saya mau minum-minum, Red.Star.Vodka." jawabku, dengan penuh penekanan pada kata Red Star Vodka.

Pak Kavin tersenyum simpul. "Bukannya minum soda saja perut kamu sudah kembung ?" tanya Kavin

Ha ?! Gimana ?! Apa katanya ?!, dari mana bos tau kalau aku tidak bisa minum minuman yang bersoda dan beralkohol. Dan tak ayal pipiku yang putih pun mendadak memerah menahan malu. Sial.

"Hih, so tau." gerutuku lalu pergi meninggalkan Pak Kavin, ngilangin tengsin coeg.

"Mau kemana ?" tanya Pak Kavin. Aku menghentikan langkah, mau ke kloset Pak, saya malu mau tenggelamin pala. Engga aku ga bilang gitu, aku memutar badan menghadap Pak Kavin.

"Toilet, mau ikut ?" jawabku sengit. Pak Kavin tidak menjawab ia kembali fokus pada layar monitornya. Aku menghentakkan kaki kesal dan segera berlalu ke kamar mandi.

Setengah perjalanan ke kamar mandi baru aku lalui, langkah kakiku berhenti saat teringat obrolan Dika tentang mahkluk ghaib dua hari yang lalu. Dika bilang dia pernah mendengar suara-suara aneh seperti tangisan perempuan saat ia tengah berada dikamar mandi kantor. Aku tidak percaya, jelas aku tau kalau si kunyuk Dika hanya berbohong untuk menakutiku.
Tapi aku ternyata tidak seberani itu.

Bunda aku takut....!!

Aku membalikkan tubuhku dan berlari secepat kilat untuk kembali keruangan. Aku membuka pintu dan menutupnya dengan kasar sehingga menimbulkan kegaduhan. Nafasku tersengal-sengal, keringat dingin menjalari dahi dan pelipis membuat beberapa helai anak rambutku menempel pada wajah. Oh shit, aku baru sadar ada orang lain diruangan ini yang sejak tadi memperhatikanku dengan heran.

"Kamu kenapa ?" tanya Pa Kavin penasaran dengan apa yang telah terjadi padaku. Aku gelagapan, tapi sepersekian detik aku berhasil menormalkan penampilanku meski tidak se-paripurna biasanya.

"Ga papa." jawabku datar sambil membenarkan kemejaku dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Pak Kavin hanya melongo melihat tingkah anehku. Sampai ketika aku sudah kembali duduk dikubikel, Pak Kavin masih tetap melongo.

"Ehm." aku berdehem. "Silahkan lanjutkan pekerjaan Bapak, tidak akan selesai jika Bapak hanya memandangi wajah cantik saya." kataku jumawa dengan senyumam manis. Pak Kavin salah tingkah, ia kembali pada layar monitor dan berkutat dengan keyboard nya.
Aku menyingkirkan anak rambut yang menempel pada wajah sambil menghirup udara perlahan guna menormalkan detak jantungku.

Aku kembali berkutat dengan laporan, sambil menahan pipis. Ya Lord, adakah hari yang lebih sial dari hari ini ?! Beberapa kali aku harus mengucek mata, perih karena pantulan dari cahaya monitor. Aku usahakan agar tidak banyak bergerak, nahan pipis nggak semudah buang gas di depan calon mertua brader.!

Namun tanpa aku kira, pertahananku sudah sampai diujung tanduk. Ini serius aku sudah tidak dapat menahannya. Apa yang harus aku lakukan ? Meminta tolong pada Pak Kavin untuk mengantar pergi ke toilet ? Oh no, itu bukan saran yang tepat, dimana aku simpan harga diriku. Tapi aku sudah tak tahan lagi. Fine. Terpaksa. Catat ya ter-pak-sa.

"Pak." putusku pada akhirnya.

"Hm." jawab Pak Kavin tanpa menatapku.

"Saya mau minta tolong." kataku ragu dengan suara yang aku rendahkan.
Pak Kavin mendongakkan kepalanya menatapku dan tersenyum simpul.

"Benarkah seorang Ranaya Putri Lubis sang singa betina meminta tolong pada saya ?" ejek Pak Kavin.

Apa ? Dia baru saja memanggilku dengan sebutan singa betina ? Samurai mana samurai ? Aku tidak ingin mendebatnya walaupun harga diriku telah jatuh sejatuh-jatuhnya dihadapan pria menyebalkan ini, aku lebih memikirkan sesuatu yang terus mendesak dibawah sana.

"Anterin saya ke toilet." pintaku. Bodo amat lah, malu-malu aja dah tanggung.

"Are you serious ? Mengajak seorang laki-laki dewasa ke toilet ? Hahaha ." tawa Pak Kavin pecah. Aku hanya menunduk, dan terus menahannya.

Ya Allah punya Manager kok gini amat ya ? Ini kacungnya sedang menderita, kok malah di ketawain. I hate you, i'm gonna fuck you sir. I wanna kill you.....!!!

"Pak, bapak tega sama saya." cicitku, Pak Kavin masih menikmati tawanya.

"Bapak emang mau karyawan bapak kena penyakit kencing batu ?" eh kencing batu itu terjadi karena keseringan nahan pipis bukan sih ? Ah bodo amat lah, ini urgent kalo salah mohon maklumi.
Tidak ada sahutan apapun dari Pak Kavin selain tawanya yang semakin menggema.

"Hiks...hikss... bapak jahat sumpah." kataku pura-pura menangis. Nggak ada cara lain selain nge-drama alay, udah gakuat.
Pak Kavin menghentikan tawanya, aku masih tetap menundukan kepala sambil menutup wajah dengan kedua tangan, biar nggak ketauan pura-pura nangis.

"Ayo." ajak Pak Kavin yang ternyata sudah berdiri di sampingku dan mencekal pergelangan tanganku lembut, ekpresi Pak Kavin tentu saja kembali datar padahal baru saja ia tertawa terbahak-bahak bukan ? Aku terlonjak kaget, saat wajah tampan Pak Kavin hanya berjarak beberapa centi dari wajahku.

"Ranaya." kata Pak Kavin, aku nyengir kuda dan bangkit pergi ke toilet di antar Pak Kavin yang tangannya masih setia menuntunku.

***

Kzzll tiap mau revisi cerita ini pasti males mulu aku. Maaf ya kalo works nya berantakan banget, dan mengganggu banget. I'm so sorry darl. Eh ayo kita cari temen disini.. Seru kali ya 😀😀

Comment comment peliss, bantu aku 😳😳

Happy Reading 😘😘

❤With love,

Pleiades

That girl, On Duty !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang