BAB 22

9K 673 173
                                    

"Anjir, cantik nggak Ra ?" Ya gusti, dengan malas aku melirik ke kubikel sebelah. Jangan sampai cah lanang disebelah ini kembali menarik rambutku karena tidak menggubrisnya seperti tadi.

"B aja." Kataku yang langsung mendapat delikan matanya.

"Ck, kalau yang ini ?" Duh Gusti.

"Cantik, Dika. Semua cewek pasti cantik." Jawabku, mencoba bersabar.

"Ada ah cewek yang nggak cantik, nih elo contohnya." Katanya lempeng. Tuhaaannnn, bisakah untuk hari ini, ya hari ini saja, engkau menghalalkan jika membunuh orang itu tidak dosa ? Atau engkau berikan aku hak veto jika menganiaya orang itu bukanlah perbuatan dzolim ? Maka detik ini juga aku akan menyepak dia keluar gedung kantor ini.

Namun, aku tetap memberikannya senyuman terbaikku. Tak apa ya tak apa, setidaknya untuk saat ini, sing penting dia bahagia, karena aku pernah baca satu artikel yang mengatakan bahwa orang patah hati itu mempunyai resiko tinggi terkena stress. Siapa tau kan sebelum aku menyepaknya keluar gedung ini dia sudah lompat lebih dulu ? Meskipun dia kerap kali menyebalkan aku tetap sayang dia.

"Jadi gimana ? Udah ada yang match ?" tanyaku semanis mungkin.

"Enggak ah, pada b aja." Semprul, gue bilang tadi apa ?

"Ya iyalah, yang cakep-cakep nggak mungkin pada main gituan kali."

"Kata siapa ? Ini gue cakep main Tinder." Aku menghela nafas berat, iyain aja. Jadi begini, beberapa hari, atau berapa ya ? Ada sekitar 3 harian dia selalu sibuk dengan gadget-nya, sibuk swap kanan juga swap kiri. Dan selama 3 hari itu dia terus merecoki ku dengan pertanyaan yang ... Ya Gustiii aku sudah gumoh mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Ra, Ra ini oke kan ? Cantik nih pake hijab, solehah kayanya." See ? Maka aku akan menjawabnya dengan penuh antusias---pura-pura antusias sebenarnya---seperti ini. "Wow, oke nih. Calon makmun banget, gue yakin elo bisa jadi Imam yang baik buat ukhty satu ini." Namun, bukan respon antusias kembali yang diberikan melainkan ia akan segera mencebikkan bibir kemudian menatap layar ponselnya dengan malas lalu kembali swap kanan-kiri.

Begitu. Nggak gumoh gimana coba ? Serba salah.

Ini sebenarnya pekerjaanku sedang banyak-banyak nya, dengan deadline jam 3 sore sudah ada dimeja Pak Kavin. Tolong. Meskipun aku pacarnya Pak Kavin, oh tidak, bukan pacar, maksudku apa ya ? Aku merasa hubungan kami tak ada yang berubah, tetap saja layaknya karyawan dan atasan, tak hanya berlaku diluar kantor tapi saat diluar kantor pun aku rasa tak ada yang berbeda. Maksudku begini aku tidak merasa bahwa kami mempunyai hubungan layaknya pasangan lain. Ah sudah lupakan, kerjaanku harus segera rampung sebelum auman macan kembali menggema di sekitar kubikel.

"Hai Ra, dinner after office hour ?" Aku mendongak kan kepala mencari sang pemilik suara, aku sebenarnya sudah tahu itu suara siapa, namun untuk norma kesopanan aku terpaksa harus mengalihkan tatapan dari monitor yang sedari tadi menampilkan angka-angka memuakkan.

Aku menemukan sosok Lugi yang sudah menjulang tinggi didepan kubikelku dengan tatapan penuh harap juga senyuman lebarnya. Duh Gusti jangan bilang kalau Lugi baper atas insiden pura-pura membenarkan dasinya yang sukses aku lancarkan.

"Hai Gi, din-ner ?" Aku kembali mengulang kata-katanya. Ya siapa tau kan aku hanya berdelusi, karena jika demikian aku tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk untuk menolaknya. Namun sayang, sekali lagi ia menjawab dengan lebih antusias dari pada sebelumnya. "Iya dinner, free kan ?"

Ya Gusti, alasan apalagi yang harus aku berikan untuk menolak .... Ya bagus, tenang Ranaya ada sahabatmu yang kini sedang menonton drama-mu juga Lugi secara bergantian.

That girl, On Duty !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang