BAB 1

6.3K 500 14
                                    

Aku masih tidak percaya Manager Keuangan dikantorku menghembuskan nafas terakhirnya hari ini. Ini sungguh mengejutkan untuk seluruh penghuni kantor Djakarta Coorp, sebuah perusahaan properti Internasional yang berpusat di Milan. Terutama untuk kami berempat, aku, Mbak Sela, Mas Arfin dan Dika, kami adalah rekan satu divisi yang memang langsung dibawahi oleh Manager Keuangan. Bisa dikatakan divisi kami memang yang paling dekat dengan Pak Rahman, di tambah lagi kubikel kami berada disatu ruangan yang sama dengan ruangan Manager Keuangan dan itu memastikan intensitas bertemu kami dengan Pak Rahman sangat sering. Ada empat divisi yang di naungi oleh Manager Keuangan, salah satunya adalah divisi kami.

Oh ya, aku. Ranaya Putri Lubis. Rara, itu nama panggilanku. Sudah kurang lebih sembilan bulan aku bergabung di Djakarta Coorp, dan aku ditempatkan di divisi Accounting.

Let's introduce member of Accounting,
Mbak Sela seorang ibu dengan satu anak, suaminya blasteran Jerman-Palembang. Mbak Sela cantik, aura keibuannya sangat bersinar.
Dan Mas Arfin, beuuhh dia hot papa banget. Saat pertama kali aku kesini aku kira dia belum nikah, eh taunya udah punya bontot satu dan sekarang istrinya sedang hamil 6 bulan dan si jabang bayinya itu kembar.
And the last si kunyuk Dika, dia yang paling dekat denganku karena memang umur kita yang ga jauh beda hanya selisih 3 tahun jadi aku lebih leluasa dengan Dika dibandingkan sama Mbak Sela dan Mas Arfin.
Dika cakep banget, kumis tipis yang malah mirip kumis lele, tubuh atletis dan ya good looking banget deh pokoknya, tak heran jika Dika jadi salah satu most wanted employe dikantor kami.

Minggu pagi ini aku dikejutkan dengan kabar yang sangat buruk, Dika menelponku dan mengatakan bahwa Pak Rahman meninggal dunia.

Dikakunyuk 💔💔 is caliing...

"Hallo." sapa Dika diseberang sana.

"Hm apaan ?" sahutku dengan malas, karena yakinlah Dika pasti hanya akan merusak pagiku dengan kenyinyirannya.

"Pak Rahman." kata Dika ambigu dengan suara lemah.
Ada yang tidak beres dengan cara bicara anak ini aku langsung bangun dari sesi tiduranku.

"Kenapa si papi ?" tanyaku penasaran.

"Pak Rahman meninggal Ra." kata Dika dengan suara yang terdengar bergetar.

"Ga lucu Dik, lo jangan bercana ini masih pagi nyet.

"Gue serius." jawab Dika datar. Udah jelas, Dika serius banget kalo udah ngomong datar kaya gini. Aku masih ternganga dengan tangan bergetar. Aku tidak percaya bahkan untuk menanyakan sebab mengapa Pak Rahman meninggal pun aku tifak sanggup, lidahku kelu.

"Pak Rahman kena serangan jantunh tadi jam tiga pagi di Medica Center, jenazahnya dibawa pagi ini ke rumahnya." jelas Dika.

"Gue masih ga percaya Dik." kataku sambil terisak.

"Sama, udah mending sekarang lo siap-siap gue jemput satu jam lagi buat takjiah, Mbak Sela sama Mas Arfin juga kesana."

"Oke." kataku dengan suara parau dan menutup telepon.

Aku langsung siap-siap, Dika satu jam lagi akan menjemputku. Selagi menunggu Dika aku cerita pada Ayah dan Bunda ku serta bang Yugi tentang meninggalnya Pak Rahman.

Dika datang dengan setelan hitam-hitam nya, aku langsung duduk di samping kemudi. Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan, aku sibuk dengan pikiranku yang terus tertuju pada Managerku, begitupun dengan Dika ia fokus pada jalanan yang mulai padat. Aku dan Dika sampai di kediaman Pak Rahman, karangan bunga ucapan berduka cita berjejer rapi. Begitupun banyak sekali orang-orang yang bertakjiah. Setelah beramah tamah dengan keluarga duka, Dika mengajakku untuk pulang dan aku menyetuji ajakannya.

That girl, On Duty !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang