Musim Panas, Busan, 2014
"Seragam musim panas adalah yang terbaik!" teriak Suhyun merentangkan tangannya saat mereka telah sampai di gerbang SMA Yeonje, membuat beberapa pasang mata melihat aneh gadis berpipi gembul tersebut.
Yerim, gadis mungil di sampingnya tertawa lepas melihat sang sahabat bahagia. Benar, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada seragam musim panas—mungkin menurut beberapa orang seperti itu. Mereka tak perlu memakai jas sekolah dan rompi. Namun, bagi beberapa murid perempuan SMA Yeonje, seragam musim panas adalah hal yang tepat untuk melihat para murid laki-laki menunjukkan hasil latihan mereka—membentuk tubuh idaman para wanita.
"JUNG EUNHA!"
Yerim langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara yang memanggil murid perempuan bernama Jung Eunha—dewi SMA Yeonje. Eunha langsung berlari menghampiri murid laki-laki yang memanggilnya. Rambut sebahunya bergerak lucu, senyum kelincinya merekah haru. Yerim melihat Eunha berlari ke depan gedung sekolah mereka, ikut bergabung dengan rombongan yang dipimpin oleh Ko Junhoe—garda terdepan SMA Yeonje atau mereka menyebut pemuda tersebut sebagai Busan Fighter.
"Jung Eunha adalah gadis yang sempurna. Cantik, pintar, baik hati, dan berasal dari keluarga yang kaya. Eksistensinya semakin membuatku merasa mirip seekor babi yang hanya bisa makan dan tidur," gumam Suhyun sambil mengeratkan tali tasnya saat mereka masuk ke dalam gedung utama sekolah.
"Menyebut dirimu seperti babi sama saja dengan kau tidak bersyukur diberi kehidupan, Suhyun." Yerim melihat Suhyun sebentar dan berjalan ke barisan loker siswa kelas sebelas. "Kau sudah mengerjakan tugas Sejarah Korea?" tanya Yerim selanjutnya.
"Oh Tuhan!" Suhyun menepuk keningnya dengan tangan kanan. "Malam tadi aku bertengkar lagi dengan kakakku hingga aku tertidur kelelahan. Chanhyuk menggodaku habis-habisan setelah kau mengatakan jika aku menyukai anak Bibi Park."
Tawa Yerim pecah setelah mendengar dua bersaudara favoritnya tersebut bertengkar karena keusilannya. "Maafkan aku, Suhyun. Kau bisa menyalin pekerjaanku," ucap Yerim berusaha menahan tawa dan menyerahkan buku tugas miliknya kepada Suhyun.
Suhyun tersenyum senang dan berjalan masuk ke dalam kelas bersama Yerim setelah menerima buku tersebut. Suasana di dalam kelas sebelas terlihat ramai. Beberapa murid perempuan asik bergosip sambil memoles wajah mereka. Yerim tersenyum miris melihat para gadis yang sangat terobsesi untuk memiliki wajah cantik standar Korea Selatan.
Bahkan, di antara mereka ada yang melakukan operasi hanya untuk memiliki kelopak mata ganda. Tentu saja murid yang melakukan hal tersebut berakhir mengundurkan diri dari sekolah karena tak tahan menjadi bahan pembicaraan bagi murid-muird SMA Yeonje.
Di sudut kelas, segerombol murid laki-laki tertawa lepas sambil sesekali saling memukul. Salah satu di antara mereka memegang telepon genggam keluaran terbaru. Yerim tidak bodoh untuk menebak jika mereka sedang menonton video tak senonoh—kebiasaan para murid laki-laki di kelasnya, atau mungkin memang semua murid laki-laki SMA Yeonje seperti itu.
Yerim menduduki bangkunya yang terletak di pinggir jendela. Sebelum bel pelajaran pertama berbunyi, ada juga beberapa murid laki-laki yang lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola di lapangan sekolah. Yerim bisa melihat mereka dari lantai dua ini, menikmati permainan mereka yang kadang dihiasi dengan adegan kejar-kejaran karena perilaku usil beberapa di antara mereka.
Sebenarnya ada satu alasan lain mengapa Yerim menyukai pemandangan tersebut. Di antara mereka, ada satu murid laki-laki yang berhasil menarik atensi Yerim sepenuhnya. Yerim akan selalu menyunggingkan kurva manis setiap melihat tingkah laki-laki tersebut. Entah saat ia memukul temannya sambil melemparkan candaan, saat ia pura-pura marah karena temannya menggoda gigi kelinci miliknya, atau saat ia bernyanyi keras di kantin sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearly Tale
FanfictionDia Kim Yerim, hidup dengan kesialan di mata mereka. Satu per satu skenario buruk ditimpakan kepada tubuh mungil dan jiwa rapuhnya. Dia Jeon Jungkook, tercipta untuk menggenggam di dalam duka. Satu per satu masalahnya ikut menjadi senjata menyerang...