[Fearly Tale - 04]

2.7K 494 27
                                    

Yerim menghentikan langkahnya di teras rumah. Lampu teras nampak berkedip-kedip, menandakan bahwa masa pakai lampu pijar tersebut sudah hampir habis. Gadis tersebut menghela napas pendek dan segera membuka pintu rumahnya.

"Aku pu—"

"Ya! Aku sudah lelah denganmu, Kim Junmyeon. Apakah sekarang nasib sialmu kau tularkan kepada Yerim? Kau tidak baca surat ini, huh? Para tetangga membicarakan anakmu. Baca ini, baca! Jelas-jelas murid perempuan berinisial KY yang ditulis murid bernama Kim Mingyu di surat permohonan maaf ini adalah Yerim."

"Bae Joohyun! Apakah ini tanggung jawabku sepenuhnya? Seharusnya kau yang lebih mengerti Yerim daripada aku. Justru, akulah pihak yang lelah dengan kelakuanmu. Kapan kau akan memperlakukan Yerim seperti anak gadis di usianya? Tidakkah kau pikir selama aku mendekam di penjara, Yerim benar-benar kekurangan kasih sayang? Apakah kau itu benar-benar seorang ibu?"

Yerim berjalan menuju pintu kamar tidur orangtuanya. Ia membungkuk kecil sambil tersenyum kecut menahan getaran suaranya. "Aku pulang," lirihnya dengan suara yang sangat kecil.

Jika ditanya di mana tempat teraman bagi Yerim, jawabannya tidak ada. Bagi Yerim, dunia diciptakan hanya untuk menjadi tempat berlangsungnya kesengsaraan dan kenyataan hidup dimainkan. Sekolah, keluarga, lingkungan rumah, bahkan dirinya sendiri pun tidak memberikan rasa aman. Di saat anak seusianya menjadikan keluarga dan teman sebagai pemegang peran penting dalam masa remajanya, maka Yerim menjadikan pahitnya kenyataan sebagai teman setianya.

Suara detikan jam terdengar begitu jelas saat Yerim membuka pintu kamar tidur. Gadis tersebut sengaja tidak menyalakan lampu kamar. Gelap terasa lebih baik jika terang hanya bisa memberikan kenyataan kasat mata. Bagi gadis tersebut, ada sesuatu tentang kegelapan yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Mereka tidak dikenal, dingin, dan diam. Yerim menyukainya karena ia merasa dapat melihat pantulan dirinya di sana.

"Makan malammu, Yerim." Pintu kamar Yerim terbuka, menampilkan sosok berperawakan sedang dan sederhana. Sosok pria yang tiga tahun lalu terlihat segar dan tampan dengan seragamnya sebagai karyawan di salah satu pabrik sepatu di Busan.

"Aku tidak lapar, Ayah," jawab Yerim membalas pria paruh baya tersebut.

Pria tersebut, Junmyeon, berjalan menghampiri Yerim yang duduk di meja belajarnya. "Kalau begitu, sebaiknya kau mengganti seragammu. Besok kau masih harus bersekolah," ujarnya pelan sambil mengusap surai panjang anak gadisnya.

Yerim mengangguk pelan dan berdiri dari duduknya. Junmyeon pun tersenyum dan berjalan hendak meninggalkan kamar Yerim. Namun, sahutan gadis mungil tersebut berhasil menghentikan langkah kakinya tanpa berbalik menghadap Yerim. "Ayah, kau tidak akan meninggalkanku lagi, 'kan?" tanyanya.

Hanya gelengan singkat dan cepat yang diberikan Junmyeon sebagai jawaban. Kepalanya mulai berdenyut mendengar pertanyaan anak gadisnya. Bibirnya bergetar ingin melepaskan isakan dan berbalik merengkuh tubuh mungil Yerim. Namun, sebisa mungkin ia melangkahkan kakinya keluar tanpa menatap Yerim yang kini terpaku diam.

Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes, dan selanjutnya aliran hangat membasahi pipi mulus Yerim. Hanya dengan gelengan kecil dari ayahnya, Yerim bisa mengetahui bagaimana ia dan keluarganya akan menjalani kehidupan ke depannya. Gelengan singkat tanpa menatap yang diberikan oleh Junmyeon adalah tanda bahwa ayahnya tersebut berbohong. Yerim terlalu mengenalnya dengan baik.

Bukan ini yang diharapkan Yerim saat ayahnya kembali ke rumah setelah mendekam di jeruji besi. Ia sudah memantapkan hatinya untuk mau membuka diri terhadap dunia luar jika Junmyeon kembali. Namun, ternyata Tuhan berkata lain. Yerim harus kembali membenturkan jiwanya hingga terkurung dan menempatkan tubuhnya di tepi jurang tak berujung. Pada akhirnya, Yerim kembali mempertahankan hidupnya berputar di siklus kegelapan tersebut.

Fearly TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang