[Fearly Tale - 10]

2.3K 379 35
                                    

Jika ada bentuk pandangan dengan kesan dingin dari seorang muda kepada seorang tua, maka seperti itulah yang terjadi saat ini. Yerim diam duduk di depan Kang Ssaem yang berulang kali memijat keningnya sambil mendesah. Kopi hangat yang ia minta buatkan kepada Mina–murid perempuan yang sedang piket di UKS–belum tersentuh sama sekali. Begitupun air mineral dan sebungkus roti yang Kang Ssaem tawarkan pada Yerim juga belum disentuh sejak tadi.

"Bagaimana bisa kau mengambil keputusan seperti itu, Yerim?" tanya Kang Ssaem akhirnya.

Yerim menaikkan satu alisnya dalam tundukkan. Gadis tersebut enggan menatap guru muda di hadapannya. Ia lebih memilih memandang jari- jarinya yang saling bertautan. "Tentu saja aku bisa, Ssaem. Kami bukan kalian–orang dewasa yang bisa memilih pilihan hidup dengan baik. Bahkan keluargaku pun tidak bisa mengaturku dengan pantas."

"Yerim!" tegas Kang Ssaem mendengar ucapan Yerim barusan. Ia lantas berdiri dan menatap Yerim tajam. "Tidak bisakah kita membicarakan ini semua dengan baik-baik?"

"Tentu saja bisa. Bahkan seharusnya Ssaem sudah membicarakan ini dengan beberapa murid sejak dari sebelum Kim Mingyu terjun dari atap SMA Ganghan. Apakah harus ada yang mati dulu baru sekolah mau bertindak seperti sekarang?" balas Yerim yang akhirnya mendonggakkan kepala dan menatap Kang Ssaem tajam.

Guru wanita tersebut menarik napas pendek dan kembali duduk di bangkunya. Ia menyeruput sedikit kopi yang sudah tak hangat lagi di atas meja dan kembali berbicara. "Kau paling banyak tahu tentang masalah ini, Yerim. Tidak bisakah kau menceritakannya kepadaku langsung? Memanggil Junhoe, Jungkook, Eunha, ataupun yang lainnya satu per satu hanya akan memakan waktu."

Yerim mendelikkan matanya cepat. "Ya Tuhan! Bukankah seharusnya Ssaem mencari tahu sendiri dengan menanyakan satu per satu para murid? Pantas saja lulusan SMA Yeonje tidak pernah lolos ke Universitas Seoul ataupun perguruan tinggi impian mereka. Fasilitas konselingnya saja seperti ini!"

"Kim Yerim! Di mana sopan santunmu kepada guru?" teriak Kang Ssaem sambil memukul permukaan meja hingga membuat kopi di dalam gelas beriak kecil.

"Ssaem, sekarang ini bukan saatnya membicarakan masalah sopan santun atau tidak. Murid-murid di luar sana memiliki berpuluh-puluh rencana untuk mengakhiri hidup mereka. Hanya dengan berbekal Junhoe dipercayakan mengawasi tindak intimidasi yang berefek ke luar sekolah, bukan berarti sekolah bisa lepas tangan. Junhoe dan lainnya pun juga muak dan ingin menyusul Mingyu ke neraka jika mereka bisa!" teriak Yerim tak mau kalah.

Kang Ssaem memicingkan matanya hingga keningnya berkerut. Ia mendesah pelan dan kembali menatap Yerim. "Sekarang apa yang kau inginkan, Kim Yerim? Menghidupkan Mingyu untuk menceritakan alasan ia memilih bunuh diri, begitu?"

"Anda baru ingin mencari alasannya sekarang, Ssaem? Lucu sekali! Sekarang ini yang kami inginkan adalah peran sekolah dalam mengambil keputusan. Jangan menyesal jika nantinya para murid semena-mena bermain dalam selimut selama sekolah diam tidak membantu," ucap Yerim dengan mata basah pada ujung pelupuknya.

"Ssaem!" Pintu ruang konseling terbuka dan menampilkan Sohye yang datang dengan napas memburu. "Yerim, kau baik-baik saja?" tanya Sohye dan berlari kecil menghampiri Yerim yang nampak menyeka air matanya.

"Lepas!" desis Yerim sambil menepis tangan Sohye yang mencoba menggenggam lengannya.

"Ada apa, Sohye?" tanya Kang Ssaem yang berusaha mengatur emosinya yang sempat terpantik karena ucapan Yerim.

Sohye melirik Yerim yang menatapnya tajam dan tak suka. Ia menunduk dan sedikit menaikkan ujung bibirnya sebelum ia mengangkat kepala dan menata ekspresi wajahnya. "Ssaem, Yerim tidak sepenuhnya tahu tentang ini semua. Dia hanya korban, Ssaem. Yerim hanya korban permainan anak-anak SMA Yeonje," ucap Sohye diakhiri dengan tatapan sendu.

Fearly TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang