Jika kau tau bagaimana rasanya tersakiti,
Jika kau tau bagaimana rasanya memperjuangkan hal yang sia-sia,
Jika kau tau bagaimana rasanya diacuhkan oleh orang yang kau sukai,
Jika kau tau bagaimana rasanya menjadi pihak yang kalah,
Jika kau tau bagaimana rasanya melihat orang yang kau sukai bersama dengan orang lain,
Kau belum tentu tau atau pernah merasakannya,
Tetapi aku tau persis bagaimana rasanya.
*
Sore itu.
Hari pertama aku dipertemukan dengannya oleh waktu. Di tengah keramaian festival malam tahun baru, dengan hati dan pikiran yang kosong aku berjalan di pinggir jalan kota memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang dengan teman maupun keluarganya. Hal yang tak mungkin bisa dilakukan olehku saat itu. Tentunya penyebabnya karena tak satupun teman yang kupunya dan keluargaku yang sudah hilang diambil Tuhan.
Aku hanya bisa tertawa miris menyaksikan seorang anak kecil berusaha menghibur adiknya yang menangis karena makanannya terjatuh, sepasang kekasih yang bergandengan tangan menyusuri jalan, satu keluarga yang harmonis diiringi tawa anak-anak, dan sekumpulan remaja yang saling tertawa duduk di satu kafe. Wah, akan bahagia sekali kalau aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan.
Tetapi, sayangnya tidak bisa.
Aku mengencangkan jaket dan memasukan tanganku ke dalamnya, mencoba masuk ke tengah-tengah festival ini. Bisa kulihat jelas orang-orang yang menjual pakaian, makanan, sovenir ataupun yang lainnya. Di tengah salju yang sangat dingin, masih ada kehangatan di tengah-tengah mereka. Sedangkan aku, pikiran dan hatiku membeku karena tidak ada seorang pun yang mau mencairkan es yang bersarang di hatiku. Bahkan, kupastikan tidak ada yang mengenal ataupun memperhatikan keberadaanku disini. Memangnya siapa yang mau memperhatikan orang sepertiku?
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kedai hangat dan duduk di salah satu tempat. Suasananya ramai, kursi kosong hanya tinggal beberapa, tetapi tetap saja tidak bisa mempengaruhi hatiku yang kosong untuk menjadi ramai pula. Memangnya siapa yang mau meramaikan hatiku?
Setelah menunggu sebentar, aku mendapatkan coklat panas di cangkir kecil yang terbuat dari beling. Pun aku menyesapnya, perlahan panasnya mulai menjalar ke perutku memberikan kehangatan yang memang hanya bisa diciptakan oleh minuman ini. Siapa lagi yang mau memberikanku kehangatan berupa apapun selain coklat panas?
Tetapi, di hari itu aku langsung tau hidupku akan berubah perlahan-lahan ketika melihat seorang pria memakai syal hitam masuk dengan celana bagian bawah terkena salju, mencari-cari kiranya satu tempat tersisa untuknya. Ternyata kenyataan berkata lain, semua tempat penuh di malam tahun baru ini.
Saat aku meneguk coklat panasku untuk yang kedua kalinya, tak kusangka pria itu berjalan ke arahku dan berkata satu kalimat yang masih kuingat sampai detik ini. Kalimat pendek yang pertama kali terucap diantara kami,
"Bolehkah aku duduk disini?"
Setelah berfikir sebentar, pun aku mengangguk membiarkan pria ini duduk di depanku. Kupikir, tak apalah, lagipula aku sendirian dan membutuhkan teman bicara. Itupun jika ia mau.
Kulihat ia membuka syal yang menutupi bagian bawah wajahnya dan menaruh benda itu di pangkuannya. Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya memesan minum yang sama dengan punyaku. Aku tak berkedip menelusuri wajah pria asing yang ternyata sangat tampan ini, tanpa melupakan satu lekuk wajah pun. Kurasa, ia sempurna.
Mungkin ia sadar jika aku memperhatikannya, ia menggaruk tengkuknya dan mengulurkan tangannya padaku. Suara indahnya yang kurindukan sampai sekarang masih terekam jelas di ingatanku saat ia mengucapkan kalimat yang menyatakan nama uniknya, "Aku Zain."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot [by request]
Fiksi PenggemarIm taking a request for this One Shot! Go request in the comments column :) "You can make anything by writing." [ FINISHED ]