0%

4.4K 416 2
                                    

Berita meninggalnya Soraya menyebar begitu cepat. Berbagai spekulasi dan kasak-kusuk terdengar jelas di penjuru kampus. Bukan karena Soraya yang populer, tetapi kematiannya yang mengenaskan dan penuh misteri.

Dia tenggelam di danau kampus yang kedalamannya hanya sabatas lutut.

Diduga bunuh diri tentu membuat keluarga dan teman-teman terdekatnya shock parah. Ditemukan ada bekas sayatan di pergelangan tangan kanan, membuat dugaan semakin kuat. Bunuh diri atau pembunuhan, belum ada kepastian dari pihak kepolisian.

Jessy menghela napas panjang, air matanya sudah turun dan kantung mata membesar. Hidungnya yang merah dia pencet-pencet untuk mereda tangis. Bukan hanya dia, tapi Yudhis juga duduk di pipir makam sendirian. Tak bisa menangis juga tak bisa marah. Matanya tampak nanar menatapi nisan Soraya. Kepergiannya begitu cepat, tak ada salam perpisahan maupun gelagat aneh dari Soraya, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mengantisipasinya.

Prosesi pemakaman telah usai sejak tadi dan Jessy masih enggan untuk pergi. Ada seribu hal yang membuatnya bertanya kenapa. Tapi, tak ada jawaban yang bisa mengait dengan kematian Soraya.

Soraya teman yang baik, anak yang baik, juga pacar yang baik. Tentu kematiannya membawa dampak terburuk bagi orang-orang disekelilingnya. Sisi keibuannya sebagai pemilik sebagian tempat di hati  kerabat dekat. Terutama dia yang tidak pernah menunjukkan rasa frustasi sedikit pun meski orang tuanya hendak melaksanakan persidangan cerai.

Masih hangat di kepalanya kala Soraya yang akrab di panggil Aya berkata dengan suara lembut khasnya.

"Tidak apa kalau mereka memutuskan untuk pisah, mereka juga sudah dewasa, mereka paling tau jalan keluar yang terbaik. Kalau pilih pisah. Aku juga sedih, tapi, nggak bisa di paksakan juga buat bersama. Aku lebih stres denger mereka berantem ketimbang pisah gini."

Dan Jessy masih ingat ekspresi Soraya yang tampak lebih lega dari pada hari biasanya.

"Duy, ayok," ajak Jessy kemudian. Dia juga iba pada kekasih Soraya yang tampak bersalah dan sedih di waktu bersamaan. Matanya tak lepas dari nisan beratas namakan Soraya. Tatapannya begitu menyayat hati.

"Aya nggak bunuh diri, Jes, nggak mungkin Aya bunuh diri."

"Yud—"

Yudhis menatap tajam Jessy enggan menerima kenyataan bahwa Soraya sudah tiada, Jessy paham dan Jessy pun merasakan perasaan yang sama. "Soraya yang gue kenal, bukan orang yang berpikiran sempit. Nggak mungkin sampe bunuh diri."

Jessy ingin juga berkata demikian, tapi polisi—baru saja mengatakan—tragedi ini ditetapkannya sebagai percobaan bunuh diri. Mau tak mau, Jessy hanya menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap Yudhis dengan pandangan seperti itu, meskipun Jessy juga yakin jikalau teman satu kelasnya itu tidak mungkin bunuh diri.

"Lo ... nggak percaya Aya bunuh diri kan?"

Jessy terdiam, manakala membuat Yudhis semakin geram. 

"Lo paling tau soal Soraya!! Lo pikir dia bakalan bunuh diri gitu aja?!"

Jessy berjengit mundur ke belakang satu langkah; kaget mendengar Yudhis yang teramat frustasi. Jessy mengeratkan kepalan tangannya. Sakit di hatinya menjalar ke seluruh tubuh. Hatinya bak tertusuk ribuan jarum yang sebelumnya dia tak hiraukan. Tapi, hati kecil berkata lain. Kematian Soraya tentu memukul telaknya.

Jessy menangis lagi.

Tarra tak kuasa melihat Jessy tersedu-sedu kembali pun terpaksa kembali mendekat dan menyeret gadis itu untuk bangkit. Sesal tak bisa menarik Yudhis tetapi lelaki itu memang membutuhkan waktu untuk sendiri.

"Ayok." Tarra memegang kedua bahu Jessy dan menuntunnya untuk keluar pemakaman.

































[✔] [1] Press Start || 95LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang