2

2.1K 321 1
                                    

"Eh Nay masuk." Naya di sambut hangat oleh sang pemilik rumah yang langsung memintanya untuk masuk ke dalam. Kebetulan sekali, ketika Naya sudah di ambang pintu Tarra sedang menuju keluar.

"Mau kemana lo?" Tanyanya saat melihat Tarra justru keluar ketika Naya masuk.

"Jajan hehehe. Naik aja udah ada yang lain."

Naya pun hanya mengamini Tarra dan naik ke tempat yang sudah di tunjuk. Di atas ada semacam ruang tamu yang biasa dipakai untuk berkumpul dengan teman-temannya.

Saat Naya sampai sudah ada Ingga, Seta, dan Teza yang well benar-benar mengacau seisi ruangan. Kulit kacang bertebaran, pilus yang dilempar-lempar, meja yang di sisihkan, karpet kotor, dan ketiga—sebenarnya Ingga hanya menonton—orang itu tanding FIFA di karpet.

"Ya Allah ini rumah orang lo bikin kayak kapal pecah!"

Ingga yang mentertawakan Teza karena kebobolan; menoleh, Seta fokus pada layar sedangkan Teza menoleh sekilas dan kembali fokus pada tanding.

"Weee Nggrit, mana dua curut lo?"

"Ada kelas." Naya rasanya mau marah pada Teza seenaknya nyebut temannya curut. Tapi pikirannya lebih berat, jadi yang keluar hanya dengusan napas.

Teza mengangguk tak ambil pusing dan melanjutkan kegiatannya, biasa tukang basa-basi suka gatal kalau belum menyapa. Setelah Naya duduk di sofa samping Ingga terdengar suara ribut-ribu dari bawah. Bisa di pastikan itu Jessy dan Dita dan sisa laki-laki yang belum datang.

Tarra membawa satu kantong kresek besar makanan dan memberantakkannya di bagian tengah-tengah ruangan.

"Mana si Iduy?" tanya Seto. Layar masih menyala, tetapi permainan sudah berakhir dengan Teza yang kalah telak sedang misuh-misuh.

"Mau diajak nggak nih?" tanya Ari yang masih mencoba melepas jaket levis dan menggantungkannya pada punggung sofa.

Yang lain masih pandang satu sama lain, seolah saling melempar pertanyaan yang sama. Akhirnya Ari mendengus. "Gue kabarin aja ya, dateng nggaknya terserah dia."

Dan diamini oleh semuanya.

Pembukaan kasus pun dimulai. Semua pun menyiapkan posisi untuk diam dan menyimak seperti yang direncanakan serius. Jadi Seta maupun alien Teza pun duduk menurut, itu pun perlu diancam dulu oleh Jessy.

"Lo semua udah buka gambarnya kan?" tanya Naya yang kini berlaku sebagai pembicara.

Semua mata tertuju padanya, meskipun Seta hanya menatap malas sambil mengunyah keripik kentang balado dari cikinya. Teza memulai keributan dengan rebutan dengan Seta yang langsung mendapat pelototan dari Jessy, karena Dita sendiri tidak merasa ini pembenaran.

"Di gambar ini ngejelasin kalau gelang kaki Ayadi tarik paksa." Naya mengangkat ponselnya agar semua melihat gambar kaki Soraya yang putih itu melingkar bekas memerah.

"Terus gambar ini." Naya menggeser layar ponselnya dan menunjukkan tubuh Soraya yang terbujur kaku. "Ada bekas tanah—"

"Ada huruf B." Potong Ari cepat.

"Hah? Huruf apa?" Naya bingung karena fokusnya tidak sama dengan Ari.

"Eh sebelumnya mayat Yaya di otopsi dulu nggak sih?" Ari melanjutkan ucapannya dengan sebuah pertanyaan.

"Lo ngomong apaan sih?!" kata Naya sarkas. Kebingungan dengan arah bicara Ari kali ini. Padahal biasanya Ari yang kebingungan.

"Nggak, setau gue orangtuanya nggak ngizinin," jawab Jessy cepat, ternyata dia diam-diam memerhatikan paparan dari Naya.

"Woaah iya bener, ini mah nggak bakal keliatan kalau nggak di zoom." Seta tertawa sendiri dengan ucapannya. Ponsel di tangan Ari berpindah tempat ke tangan Seta.

"Mana sih yang mana?" Dita yang tadinya tidak tertarik kini ikut mencoba-coba memperbesar gambarnya.

"Pahanya," ucap Ingga.

Benar saja ada ukiran huruf B yang sepertinya di gambar paksa di paha Soraya yang mengenakan rok pendek itu. Kecil dan darahnya mengering.

"B apa 13 sih itu?" tanya Teza.

[✔] [1] Press Start || 95LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang