Delapan

9.8K 826 21
                                    

Adis melirik Davin yang sibuk dengan ponselnya, membagi fokus serta tugas kedua tangannya dalam satu waktu. Tangan kirinya memegangi ponsel, sementara tangan kanannya dipaksa untuk menguasai kemudi. Adis mendesah setengah kesal. Dia paling nggak suka kalau melihat ada orang yang sedang berkendara tapi sibuk dengan ponsel.

"Hapenya disimpan dulu bisa?" sindir Adis begitu mobil accord hitam itu meninggalkan pelataran parkir kampus. Davin hanya melirik sekilas. Sesekali ia masih menanggapi suara di seberang telepon. Bagaimana mau dimatikan kalau yang menelepon saat ini adalah komandannya. Mau cari mati.

"Davin?" ucap Adis lagi. Kali ini dengan sedikit meninggikan suaranya.

"Siap!" sahut Davin mengakhiri telepon. Setelah meletakan ponsel ke dashboard, barulah cowok itu menanggapi ucapan Adis.

"Mas! Nggak sopan," tegur Davin. Bukannya menanggapi persoalan telepon sambil menyetir, malah menegur si calon istri yang memanggil tanpa embel-embel mas atau sejenisnya. Kontan saja Adis membulatkan mata.

"Mas?" ulang Adis. Bibirnya bergerak seperti orang mau muntah. Davin melihat tingkah kekanakan Adis. Bukannya marah, Davin justru mendenguskan tawa. Adis berdecak malas. Kadang dia nggak habis pikir, sebenarnya pola pikir Davin itu bagaimana. Kadang terlihat baik dan hangat, kadang menyebalkan setengah mati.

Sesaat hening menyelimuti keduanya. Adis agak penasaran dengan siapa Davin telepon. Roman-romannya sesuatu yang serius dan amat penting. Adis mengedikan bahu, nggak mau peduli. Bukan urusannya juga sih.

"Tadi itu siapa?" tanya Davin. Memecah keheningan di dalam mobil. Adis menoleh mendengar pertanyaan yang muncul dari bibir Davin.

"Oh, temen kok," jawab Adis sekenanya. Adis nggak niat berbohong kok. Memang benar cuma teman sama Tristan. Jadi nggak sepenuhnya Adis bohong dong.

"Masa temen nggak saling punya nomer telepon," tembak Davin. Adis terhenyak seketika. Gadis itu menelan ludah susah payah. Apa dia yang memang nggak bisa berbohong? Wajahnya nggak meyakinkan, atau memang Davin pandai menebak. Lagi-lagi Adis dibikin mati kutu. Nggak ada sahutan dari Adis, Davin menoleh sesaat. Memastikan gadis itu nggak lenyap mendadak dari mobilnya. Kebetulan jalanan sedang lumayan lengang. Jadi, nggak begitu menguras fokus Davin.

"Aku tahu kamu nggak bohong. Kalau memang cuma temen, ya baguslah. Terus menjaga hubungan baik itu. Asal nggak macem-macem aja," lanjut Davin. Melihat bungkamnya Adis, entah kenapa dia jadi ingin memojokan dan mengintimidasi.

"Ih! Siapa juga yang macem-macem. Nggak usah asal nuduh deh," sahut Adis sewot. Davin tertawa pelan. Ucapan bernada sinis itulah yang terkadang membuatnya merindu pada Adis.

Oke. Bukan untuk diceritakan saat ini.

"Aku nggak nuduh. Cuma ...,"

"Cuma apa?" potong Adis cepat. Davin mendecak malas ucapannya dipotong begitu.

"Memperingatkan. Berani macem-macem, aku kawinin kamu sekarang juga," ucap Davin kalem. Adis langsung membuka mulutnya lebar-lebar. Nggak ada satu kata pun yang bisa ia keluarkan. Otaknya mendadak macet dan hanya berkelebat imajinasi-imajinasi liar yang berbahaya --yang membuat Adis begidik ngeri sendiri. Dari ekor mata, Davin bisa menikmati keterkejutan Adis dengan puas. Ini baru permulaan. Mungkin ke depannya, Adis harus mempersiapkan diri termasuk menyiapkan dokter spesialis jantung yang handal karena degup jantungnya akan diajak berpacu lebih dari biasanya.

*****

"Ibu nggak setuju. Dari awal Ibu bilang nggak setuju. Tapi, Ayahmu ngotot, Masmu juga," ucap Riani di sela kesibukannya memasak untuk makan malam. Kebetulan anak bungsunya --Arabella Windyani Erlandyhta ke rumah bersama suami dan anak laki-lakinya. Bella yang tengah menyuapi Al jadi menghentikan kegiatan, lalu beranjak dari duduk dan mendekati ibunya.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang