Tiga Belas

9.9K 795 51
                                        

"Saya terima nikah dan kawinnya, Adisti Elvina Ganes binti Hari Prabowo dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai."

"Sah!"

Adis menatap pantulan bayangannya di cermin. Terdiam cukup lama. Mengais sisa-sisa ingatan beberapa jam yang lalu. Kurang dari lima menit, hidupnya telah berubah. Total. Nggak ada lagi pergi main sesuka hati dari waktu ke waktu. Nggak ada lagi makan apa saja sesuai keinginan tanpa memikirkan perut lain —yang juga harus diperhatikan. Nggak ada lagi me time dengan musik-musik rock kesukaan.

Cklek ...

Adis menoleh saat suara knop pintu diputar. Davin muncul kemudian. Cowok itu sesaat terhenti di ambang pintu. Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang didekorasi sedemikian rupa supaya menciptakan suasana romantis, hangat, dan intim. Davin mengusap tengkuknya salah tingkah. Bagaimanapun dia laki-laki normal. Imajinasi liar mulai berlompatan di dalam kepalanya.

"Apa?" tanya Adis galak. Sekilas melihat, Adis bisa memperkirakan pikiran apa yang sedang berkelebat di dalam kepala Davin.

"Eh? Oh ... Nggak," sahut Davin setengah gelagapan. Adis mendecak malas. Selesai membersihkan wajah dari makeup, cewek itu beranjak dari duduk. Naik ke atas ranjang dengan cuek, tanpa mempedulikan Davin yang berdiri canggung di ambang pintu.

"Mau di situ sampai pagi?" ucap Adis dingin. Davin berdehem pelan. Berjalan mendekati ranjang untuk mengambil bantal. Mana tahu kalau ternyata kamar Adis cuma ada ranjang, tanpa sofa segala. Mana lantainya juga nggak ada karpet. Satu-satunya tempat kosong ya lantai, itu pun harus menyingkirkan beberapa kado yang masih menumpuk belum sempat dibuka.

Davin menarik satu-satunya bantal yang nggak terpakai. Cowok itu menghela napas pelan. Mencoba bersabar dengan situasi saat ini.

"Tidur di atas. Besok kita penerbangan pagi, 'kan? Aku nggak mau ngurusin orang sakit di perjalanan," ucap Adis lagi. Tubuhnya miring membelakangi Davin. Mendengar ucapan cewek itu, Davin untuk sesaat hanya bisa menatap punggung Adis. Sebelum akhirnya, ikut merebahkan tubuh di samping cewek yang sekarang sudah berstatus sebagai istrinya itu.

"Dis, udah tidur?" tanya Davin setelah beberapa menit mencoba memejamkan mata tapi nggak bisa. Kantuknya mendadak hilang. Padahal saat tadi mengobrol dengan dua abangnya Adis --Bang Damar dan Bang Akbar-- kantuk menjalari.

"Hm," gumam Adis malas.

"Aku minta maaf, ya?" ucap Davin. Adis terdiam. Mencoba mencerna maksud ucapan Davin barusan.

"Nggak bermaksud menghancurkan hidupmu," imbuh Davin lagi.

"Anytime," bisik Adis setengah mengantuk. Matanya perlahan mulai terpejam. Nggak kuat lagi buat terlelap. Davin melirik punggung Adis setengah prihatin. Antara lega, bahagia, dan sesuatu yang menyakitkan diam-diam mulai menyelinap.

*****

Deru napas yang terdengar semakin berat. Sayup-sayup lenguhan tertahan memantul di setiap sudut kamar. Titik-titik keringat menyublim dari setiap pori-pori. Davin meraih tangan Adis. Menyelipkan jari jemarinya ke sela jari Adis dan menggenggam erat.

"Aah!" desah Adis tertahan. Davin menunduk, menatap istirinya itu sesaat. Memandangi wajah Adis di detik-detik orgasmenya. Davin semakin menggila karena ulahnya sendiri. Sedetik lagi. Yah, pergumulan ini akan diakhiri dengan benih cinta Davin untuk Adis.

Plaak!

Sebuah tamparan keras mengenai tepat di pipi Davin. Kontan saja, cowok itu terperanjat kaget. Tubuhnya jatuh terjerembab ke lantai. Sementara Adis berdiri sambil memeluk guling. Menatap Davin dengan pandangan kasihan sekaligus bersalah karena menampar pipi suaminya cukup keras. Davin mengedarkan pandangan. Menemukan Adis berdiri di dekatnya, membuat Davin buru-buru berdiri. Mengusap sikunya yang nyeri.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang