Tiga

12.3K 1.2K 16
                                    

Kejadian di depan mess perwira tadi, bikin Adis ingin ditelan bumi saat itu juga. Ditambah bukannya kena semprot atau kemplang, sepleton malah menertawainya. Mau marah, tapi di posisi yang salah. Mau diam saja, tapi malu abis. Alhasil, Adis cuma bisa menunduk dalam. Tanpa babibu, langsung mengayuh sepedanya secepat kilat.

"Adiiiissss! Malu-maluin banget sih. Ya ampon!" rutuknya pada diri sendiri. Diam-diam dalam hati berdo'a, semoga cerita konyol ini nggak menyebar kemana-mana. Apalagi sampai ke Mbak Vanya, terus Mas Damar, Mamah, Papah, Mas Akbar. Aduuhh ... bisa cilaka 69 ini. Tapi, Adis buru-buru menggelengkan kepalanya. Berusaha menyugesti otaknya untuk berpikir positif. Ya kan, dia nggak sengaja. Lagian salah om-om tentaranya juga sih. Berhenti nggak kasih kode. Ya mana Adis tahu kalau mau berhenti.

Adis menghentikan sepeda jengkinya tepat di depan rumah mungil nan asri, lengkap perubahan muka rumah yang disulap menjadi warung kecil. Bubur ayam Bu Dede yang katanya terkenal yahud.

"Assalamualaikum!" seru Adis. Sengaja nadanya dinaikan beberapa oktaf. Biar yang punya warung cepat keluar. Perut sudah demo anarkhis. Nggak lama, Bu Dede muncul dari dalam. Ibu-ibu yang usianya sudah berkepala tiga itu tersenyum ramah. Meski hanya berbalut daster batik, wajahnya terlihat segar, kulitnya putih dan bersih. Pembawaan kali ya, batin Adis.

"Bubur ayam dua porsi ya, Bu," pesan Adis.

"Yang biasa apa spesial?" tanya Bu Dede. Adis sedikit mengerucutkan bibir seraya menimbang pilihan antara biasa atau spesial. Tapi, baru juga mulutnya akan membuka, suara lain sudah menyela.

"Bu, biasa ya!" sela Davin cuek. Bu Dede semakin melebarkan senyuman tatkala iris coklatnya menemukan Davin sudah berdiri di depan warung. Pelanggan setia yang enak buat dilihat sekaligus penambah semangat Bu Dede kalau lagi meracik bumbu kaldu. Mendengar suara yang mulai nggak asing, Adis langsung ikut menatap ke arah pandangan Bu Dede. Kontan cewek itu mendadak panas-dingin. Jadi ingat kejadian beberapa menit lalu. Ini muka mau ditaruh di mana coba. Adis memilih untuk sok nggak kenal saja lah. Pura-pura amnesia.

"Mbak jadinya mau yang biasa atau spesial?" tanya Bu Dede lagi. Dari tadi menunggu jawaban Adis.

"Spesial," sahut Adis cepat.

Davin yang masih ingat dengan jelas wujud Adis. Diam-diam memperhatikan gerak-gerik cewek itu yang salah tingkah. Teringat kejadian tadi, membuat tawa Davin kembali muncul. Kali ini nggak bisa ditahan lagi. Toh, sudah nggak di depan anak buah. Cuma ada Adis dan Bu Dede saja. Davin membekap mulutnya. Bermaksud meredam tawa menggelegarnya. Meski ditahan, cekikikannya jelas didengar telinga Adis. Merasa ada yang cekikikan, Adis langsung melirik tajam makhluk di sampingnya. Benar saja, bahu Davin yang naik-turun sudah menjelaskan kalau cowok itu menertawai dirinya. Bukan Adis kepedean, tapi kan ... kejadian tadi itu pasti masih bikin ngakak.

"Om Davin kenapa? Kok cekikikan sendiri begitu," tegur Bu Dede. Adis langsung menatap si ibu dengan mata berbinar. Seolah baru saja bertemu dengan superhero yang menyelamatkan hidupnya.

"Ehem! Tadi ada kejadian lucu aja, Bu," sahut Davin susah payah. Setelah berhasil menghentikan tawa, Davin kembali berucap, "Bang Lucas tadi ditabrak sepeda dari belakang,"

Adis sudah ketar-ketir pas Bu Dede bertanya. Mulutnya bahkan komat kamit, berdo'a supaya Davin nggak cerita. Tapi, dengan tanpa dosa, cowok itu menceritakan kejadian itu. Dari A sampai Z. Mana semangat banget lagi ceritanya. Bu Dede yang hanya mendengar ceritanya saja, bisa ngakak. Duh, Adis pengin dilindes tank saja laah. Maluuu!

*****

Kejadian tiga hari lalu, seketika membuat Adis nggak mau keluar dari rumah. Cewek itu lebih memilih disuruh nyikat wc ketimbang beli telur ke warung Bu Yayan. Meski kadang merasa kasihan sama Mbak Vanya. Rumah Bu Yayan kan lumayan jauh juga. Mana jalan kaki lagi karena Mas Damar sudah berpesan nggak boleh naik motor. Masa mau naik mobil, apa kata tetangga.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang