Satu

18.2K 1.2K 39
                                    

"Kita putus aja." Suara tegas yang meluncur dari bibir Tristan Purwandana itu bagaikan sambaran petir di siang bolong. 

Adis mengerjap-ngerjapkan mata, antara kaget dan setengah nggak percaya. Yakali, mungkin kupingnya sedang eror atau terserang tuli mendadak. Jadi, dia salah dengar dengan ucapan Tristan.

"... kamu ngomong apa sih, Mas?" tanya Adis dengan nada super hati-hati. 

Jelas cewek itu ketar-ketir tatkala menangkap raut wajah Tristan yang sama sekali nggak bersahabat. Sejak semalam cowok yang berbalut seragam loreng itu mendadak bertingkah aneh. Awalnya, Adis cukup memaklumi. Harus ditambah kata 'cukup', karena kalau boleh jujur cewek itu nggak sepenuh hati memaklumi, dongkol lah iya.

"Kita putus. Udahan, Dis," Tristan menandaskan setiap perkataan fatal itu. 

Kontan Adis mengerutkan kening dalam. Raut wajah yang sedari tadi berusaha dibuat ceria, mendadak langsung muram. Mendung segelap-gelapnya.

"Kenapa?" tanya Adis. 

Kali ini suaranya terdengar serak. Bisa dipastikan nggak lama lagi cewek itu bakal menangis. Tristan mengetuk-ngetukan jari ke atas meja. Cowok berambut cepak itu seolah tengah menimbang-nimbang jawaban apa yang pas untuk ia berikan kepada Adisti Elvina Ganes. Sementara, cewek pecinta keramaian itu masih menunggu dengan harap-harap cemas.

"Aku belum siap untuk menikah. Aku masih ingin mengejar karierku di militer," ucap Tristan.

Dahi Adis semakin keriting dibuatnya. Cewek itu mengingat-ingat setiap ucapan yang pernah meluncur dalam obrolan keduanya semalam atau beberapa hari terakhir. Adis ingat, belakangan dia memang sedikit menuntut kejelasan hubungan pada Tristan.

"Karena itu kamu mutusin aku, Mas?" Adis menyipitkan mata nggak percaya. Kenapa masalah sepele seperti ini malah berbuntut perpisahan. Tristan menghela napas pelan.

"Aku rasa, hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku minta maaf," ucap Tristan. Nada bicaranya sudah turun. Nggak setegas dan seotoriter tadi. Sepasang manik hitamnya menatap lekat ke arah Adis. Memang apa yang bisa dilakukan cewek itu sekarang. Terima nggak terima, Tristan sudah memutuskan. Hanya helaan napas pasrah yang terakhir kali didengar Adis dari dirinya sendiri, sesaat sebelum Tristan berpamitan kembali ke batalyon.

*****

Putus cinta. Dua kata sederhana yang bermakna dalam dan mengundang banyak airmata. Tapi, nggak dengan Adis. Cewek itu bahkan sudah tiga hari ini mengurung diri di kamar, ditemani dengan suara musik cadas —yang sudah bisa dipastikan membuat geger seisi rumah.

"ADIIISS!! KECILKAN VOLUMENYA!" teriak Mamah dengan suara yang sengaja disetel melebihi musik cadas yang diputar Adis. 

Samar-samar cewek itu mendengar teriakan sang mamah. Terbukti, Adis segera mematikan mp3 player. Berjalan keluar kamar untuk menemui ibunya. Tapi, baru juga berdiri di ambang pintu, sebuah jeweran langsung menyapa.

"Akh! Mamah, sakit!" pekik Adis seraya mencoba menarik tangan wanita setengah baya itu supaya melepaskan jeweran.

"Nakal kamu, ya! Udah gede masih aja susah dibilangin. Mana ada cewek nyetel musik gedebag gedebug kayak bujangan? Pantas aja, Tristan ninggalin kamu. Anak gadis kok nggak ada lemah lembutnya," cerocos Mamah. Bibirnya komat-kamit ngedumel atas perilaku putrinya itu yang rada ajaib. Yah, bisa jadi karena Adis ini anak bungsu. Kedua kakaknya cowok semua. Pantaslah kelakuannya yaa, sedikit barbar, walau kadang bisa kalem juga.

"Aduuh, Mamah nih. Bikin unmood aja pagi-pagi," sahut Adis nggak kalah sewot. Kontan kedua mata Mamah langsung membulat.

"Justru karena masih pagi, jadi Mamah masih semangat buat nabokin kamu," ucap Mamah. Harus gitu ya, pagi-pagi perang sama Mamah. Untung rumah Adis lumayan besar. Jadi, tetangga kanan-kiri aman. Suara musiknya terdengar, tapi nggak sampai masuk ke taraf mengganggu apalagi bikin budeg. Namanya juga Adis, diomelin ya cengar-cengir saja, tanpa dosa.

Adisti Elvina Ganes. Nggak ada yang spesial dari cewek berperawakan tinggi semampai ini. Masih kuliah di Universitas Kartika Chandra, jurusan Informatika. Adis penyuka suara atau keramaian. Salah satu kegilaan dia akan suara, ya seperti yang sudah terjadi pagi ini. Cewek yang mengaku patah hati dengan pacar idaman itu, memilih menenggelamkan diri di dalam musik rock cadas yang disetel dengan volume gila-gilaan.

"Cuma orang ngenes, yang ngenesin hidupnya sendiri dengam berdiam, melamun, nangis nggak jelas dalam kesunyian. Masih mending, berdiam diri tapi ditemani musik rock cadas. Biar patah hatinya keren."

Begitu ucapan Adis saat ditanya kenapa dia nggak pernah lepas dari ipod atau walkman. Dibanding aksesoris cewek, Adis lebih suka mengoleksi aneka macam bentuk ipod, mp3, ataupun walkman. Perlu dicatat, Adis masih suka beli kaset pita juga, lho. 

*****

Dua tahun berlalu dan nggak berbekas sama sekali. Waktu kadang bisa berubah jadi kejam kalau menyangkut soal kesibukan. Davin mensyukuri satu hal itu. Setelah lulus pendidikan dari Akmil dengan Adhi Makayasa menyanding namanya, Davin langsung disibukan oleh berbagai macam tugas. Dari yang darurat sampai yang santai. Seperti sore ini, cowok yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga itu baru saja kembali dari latihan tempur di daerah terpencil di Bandung barat selama sebulan. 

"Jadi kapan mau nikah, Vin?" Suara Harith —teman seletingnya sejak pendidikan dulu itu--menarik perhatian. Davin yang baru saja menurunkan kaporlapnya ke lantai, cuma bisa berdecak malas. Cowok berambut cepak nyaris gundul itu melirik Harith sekilas. 

"Jadi kapten dulu lah," sahut Davin asal. Jawaban yang meluncur mulus dari bibir Davin, langsung disambut tawa oleh Harith. Jenis tawaan mengejek sih sebenarnya. 

"Gitu?" Harith menaikan alisnya tinggi. Tawanya sudah mereda, meski masih menyisakan kekehan. Davin menarik salah satu sudut bibirnya. Enggan menanggapi pertanyaan Harith lagi. Kalau disuruh memilih, Davin pasti akan lebih memilih ditugaskan ke daerah rawan konflik yang melosok di perbatasan, tanpa sinyal, atau peralatan komunikasi lainnya, kecuali Walkie Talkie. Di sana, dia nggak perlu memikirkan mantan kekasih yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Sudah menikah, kah? Atau masih saja sendiri seperti dirinya. 

"Woy! Malah bengong!" seru Harith. Davin langsung memutar kepala ke arah Harith. Nyengir tanpa dosa. Harith menggelengkan kepala memaklumi. 

*****

"Apa? Tinggal di asrama?" seru Adis dengan suara yang naik beberapa oktaf. Buset deh, semoga saja itu Mamahnya nggak kena tuli mendadak. Kayaknya sih nggak, karena Mamah menganggukan kepala dengan santai kemudian.

"Masmu ditugaskan ke Poso enam bulan. Mbakmu kan lagi hamil, Dis. Jadi kamu tinggal di sana, menemani Mbakmu sampai Mas Damar selesai tugas," jelas Mamah tanpa mengalihkan pandangan dari menyulam taplak meja. Adis mendengus keras. Wajah cerianya mendadak ditekuk seperti kertas lecek. Adis menghempaskan tubuh di sofa, tepat di samping ibunya. 

"Nggak mau ah. Mbak Vanya aja yang disuruh tinggal di sini," usul Adis dengan nada yang masih belum ikhlas. Mamah menghentikan kegiatannya dan menatap si bungsu dengan pandangan yang meredup. 

"Mbakmu itu istri tentara, Dis. Sama kayak Mamah. Masa kamu nggak tahu bagaimana aturannya?"

"Adis nggak tahu dan nggak mau tahu, Mah! Adis nggak suka sama tentara!" potong Adis cepat. 

"Lho, Papahmu itu tentara. Mas Damar, Mas Akbar, kan, tentara juga, Dis?" Mamah mengerutkan kening heran. Kenapa anak bungsunya mendadak nggak tertarik sama dunia militer. Padahal dirinya sendiri sudah hidup dalam lingkungan militer sejak dalam kandungan. Adis semakin menekuk wajah. "Kamu nggak kasihan sama Mbak Vanya? Cucu pertama Mamah itu."

Ucapan terakhir Mamah lumayan mempan untuk merayu Adis supaya mau tinggal di asrama untuk sementara waktu. Buktinya, cewek itu sudah nggak mengeluarkan rengekan lagi. Diam-diam Mamah mengulum senyum, sekaligus bersyukur. Semoga saja rencana keluarga ini bisa terlaksana dengan lancar. 

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang