Sembilan

9.1K 810 35
                                    

Adis menatap anggota keluarganya satu per satu. Dimulai dari Mas Damar, Mbak Vanya, Mamah, dan terakhir Papah. Kedua tangannya berkacak pinggang seolah ingin mengajak berkelahi seisi rumah.

"Jelaskan!" tandas Adis dengan suara keras. Mamah tersentak setengah kaget. Kalau saja ini bukan masalah penting, wanita tengah baya itu pasti lebih memilih menyibukan diri dengan benang-benang sulaman ketimbang mendengar suara cempreng Adis yang sukses membuat indra pendengarannya semakin hari semakin berkurang.

"Davin mau dipindahtugaskan ke Papua, dia ingin menikahimu dan memboyongmu ke sana sekalian," ucap Mas Damar dengan nada lembut.

"Menikah sekarang atau setelah skripsi, kan, sama saja. Ujungnya ya nikah," timpal Mbak Vanya.

"Papah rasa memang sudah waktunya kamu berumahtangga. Wanita terlalu tua menikah juga nggak bagus untuk anak-anakmu nanti," lanjut Papah.

"Ada expired date gitu lho, Dis," seloroh Mbak Vanya diikuti derai tawa Mas Damar.

"Nggak lucu!" Bentak Adis kesal. Wajahnya cemberut maksimal. "Adis nggak mau menikah sama Davin! Sekali nggak, ya nggak!"

"Bukannya kamu sendiri yang menerima lamaran dia tempo hari?" Mamah melirik Adis dengan alis terangkat tinggi.  Ucapan Mamah sukses menarik perhatian seisi rumah.

"Nah!" decak Mas Damar.

"I-iya ... t-tapi kan Adis maunya habis wisuda," elak Adis.

"Sekarang atau nanti sama saja," tandas Mas Damar.

"Terus skripsiku gimana?!" Sentak Adis frustrasi. Bagaimana nggak frustrasi kalau satu banding empat begini. Ah, coba ada Mas Akbar. Mungkin segaknya Adis ada punya pendukung walau satu.

"Cuti setahun dulu. Davin di sana cuma setahun," ucap Mas Damar.

Adis terdiam. Menatap anggota keluarganya lagi satu per satu. Rasanya dunianya mendadak mau runtuh. Semua angan dan cita-citanya seperti ludes begitu saja, terlindas tank. Kalau begini ceritanya, kenapa nggak sekalian saja Adis dilindas juga. Biar nggak stres begini.

*****

Davin merebahkan tubuh ke kasur di kamar mess perwira. Menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. Bertanya-tanya pada diri sendiri. Kenekatan yang sama sekali nggak pernah terlintas dalam pikiran. Adis sukses menjungkir balikan hidupnya. Adis itu seperti angin. Datang dengan perlahan, diam-diam, lembut, tapi sekalinya terasa ... dan, saat Davin menyadarinya. Ia sudah terlalu dalam terjerumus.

"Pelarian?" gumam Davin. Ini mungkin sedikit kejam. Mengingat usaha kerasnya menemukan Marissa, nggak pernah menghasilkan. Info-info yang didapat juga simpang siur.

"Argh!" Davin mendesah kasar. Mencoba menghapus ingatan kenangan akan Marissa.

Atensinya beralih pada benda persegi yang belakangan menjadi sahabat karib—lantaran nggak bisa dilepas. Chatting dengan Adis menjadi hal baru yang mampu menguras konsentrasi Davin.

To Adek
Lagi apa?

Di tempat yang berbeda, Adisti Elvina Ganes justru menyibukan diri dengan berkas-berkas yang diberikan Mas Damar tadi sore. Ponselnya berdering tanda pesan masuk pun diabaikan.

Sepuluh menit pertama lewat.

Dua puluh lima menit lewat.

Davin semakin gusar. Chat-nya sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda dibaca, apalagi dibalas. Davin menimbang-nimbang untuk menelepon Adis. Pasti Damar sudah memberitahu cewek itu. Pikir Davin.

"Penyuka konstelasi bintang," gumam Adis membaca sebaris riwayat hidup Davin. Sepasang bola matanya menelusuri semakin ke bawah, berganti halaman, berganti lembar. Seperti selayaknya pembaca yang jatuh cinta pada sebuah novel romantis tak lekang zaman. Atensinya terhenti di sebuah foto berwarna ukuran 4x6. Jari jemari lentik Adis mengusap pelan pas foto itu.

"Kebodohan apa yang sebenarnya sedang kamu lakuin ke aku?" tanya Adis. Lebih pada dirinya sendiri. Sebuah tanya tanpa jawab.

*****

Oemah Kopi sore itu cukup lengang. Nggak seperti hari-hari biasanya, mungkin karena ini hari Senin dan masih lumayan siang. Senja juga belum menunjukan tanda-tanda kehadiran, selain buratan keemasan di ufuk barat.

"Kita bukan tokoh novel. Jadi jujur aja deh, sebenernya mau kamu apa sih?" tanya Adis. Tanpa basa-basi. Duduk berhadapan dengan Davin seperti memang sudah ditunggunya sejak jauh-jauh hari. Karena kesibukan cowok itu dengan pekerjaan, baru sore ini keduanya bisa memiliki waktu bersama. Davin memajukan posisi duduknya. Kedua tangannya menyatu di atas meja. Davin menghela napas berat.

"Aku nggak punya alasan apa-apa. Harus ya menikah itu butuh alasan?" Davin justru melontarkan pertanyaan balik.

"Lho? Aku dan kamu itu orang asing. Nggak saling kenal pula. Pacar apalagi," sambar Adis nggak sabaran.

"Oh, jadi kamu mau kita pacaran? Bukannya pacaran setelah menikah itu lebih baik?" Davin menaikkan alisnya cukup tinggi. Adis sudah akan membuka mulut untuk menyambar ucapan Davin, tapi dikatupkan lagi. Nggak jadi. Adis butuh beberapa menit untuk memikirkan ucapan apa yang pas untuk dilontarkan pada laki-laki yang akan mengambil hidupnya.

"Kenapa? Kok diem?" Sebuah senyuman kemenangan tercetak samar di sudut bibir Davin. Adis langsung melengos. Berdehem pelan untuk menetralkan suasana.

"Gini deh, Dis. Aku kasih gambarannya aja. Pertama, ayahku sama bapakmu itu punya kenangan luar biasa dimana keduanya itu nggak pengen kenangan itu cuma jadi kenangan belaka. Jadi, ayahku dan bapakmu merencanakan perjodohan ini. Kedua, soal umurku. Tahu sendirilah gimana kalau udah ngomongin umur. Laki-laki, berumur, punya kuasa, mapan," ucap Davin dengan tandas. Adis memutar kepalanya mendengar penjelasan Davin.

"Aku cuma pengen jadi anak yang bisa berbakti ke orangtua." Davin mengedikan bahunya malas. Tersenyum ramah saat pelayan mengantarkan pesanan keduanya. Adis menghela napas pelan. Kalau sudah bicara soal bakti anak kepada orangtua, Adis bisa ngomong apa. Selama ini dia sendiri belum bisa balas semua kebaikan orangtuanya--yang ada malah, seringnya nyusahin dan bikin repot.

Davin menyeruput kopi hitamnya perlahan. Melirik Adis sekilas untuk melihat reaksi gadis itu. Apapun yang terjadi, Davin harus bisa mendapatkan hati Adis. Setidaknya memiliki secara tersurat.

"Aku belum pengen nikah. Aku masih muda. Kenapa kamu nggak cari cewek lain aja? Pasti banyak lah yang mau sama kamu. Perwira gitu," ucap Adis seraya menggigit bibir bawah.

"Banyak emang. Tapi, yang bapaknya punya kenangan luar biasa sama ayahku, cuma bapaknya Adisti Elvina Ganes. Gimana dong?" Davin nyaris tertawa. Melihat mimik kepolosan Adis benar-benar menggemaskan.

"Isshh." Adis mendesis setengah kesal. Wajahnya semakin ditekuk karena kalah dua kali dalam perdebatan ini.

"Lagian ya, Dis. Orang jaman dulu juga dijodohkan, kan? Katanya kepaksa, tapi anaknya bisa sampai lima bahkan sepuluh," ucap Davin. Adis nyaris saja menyemburkan ice taro latte yang baru saja disedot ke muka Davin, kalau saja gadis itu nggak buru-buru menutup mulut dengan tangan kirinya. Kali ini Davin nggak bisa menahan tawanya lagi. Adis tertegun melihat Davin tertawa begitu lepas. Dari ekor mata, Adis bisa melihat beberapa pasang mata penuh ingin tahu terarah ke mejanya.

"Ini terakhir ya aku pergi berdua kamu ke tempat umum gini. Bikin malu," desis Adis jengkel. Davin mencoba menghentikan tawanya.

"Maunya ke tempat sepi? Aku seneng-seneng aja sih," goda Davin. Sukses membuat Adis menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Malu.



Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang