Delapan Belas

8.9K 772 24
                                        

Derap langkah lebar semakin mendekati satu titik yang menuntut konsentrasi Davin melebihi mengurus taktik berperang. Hanya tersisa lima langkah lagi. Tapi, Davin memilih berhenti. Hatinya serasa luruh begitu saja. Seperti mengalami kekalahan. Perasaan sedih itu merambati diikuti rasa bersalah yang tak berkesudahan.

Nggak ada suara, padahal kedua bahu lemah itu berguncang hebat. Davin menundukan kepalanya dalam-dalam. Egonya terlalu jahat untuk menahan. Lima langkah lagi, maka dia akan merengkuh tubuh rapuh itu. Tapi, Davin nggak mengikuti hatinya. Cowok itu justru membiarkan Adis menangis sendirian. Bukan bermaksud apatis, tapi Davin yakin Adis bisa melaluinya sendiri. Sengaja supaya Adis bisa kembali belajar. Menemukan kebaikan dan keburukan dalam pengalaman barunya. Davin memundurkan langkah menjauhi tempat persembunyian Adis. Semakin menjauh, lalu berbalik. Davin benar-benar meninggalkan Adis.

*****

Jam sepuluh malam, Adis baru bisa pulang ke rumah. Beruntung dia nggak dapat teguran dari pihak mana pun. Karena sebagian ibu-ibu tahu kondisi tubuhnya yang memang sedang kurang sehat. Adis memutar kenop pintu.

Sepi.

Davin belum pulang. Adis mengedarkan pandangan ke seisi rumah kecil itu.

Kosong.

Adis masuk ke dalam rumah. Meletakan tasnya ke sofa begitu saja. Nggak lama, tubuhnya ikut mendarat mulus.

"Astaghfirullah ...," gumam Adis. Menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Di tempat sejauh ini, hanya Davin satu-satunya tempat ia bergantung. Tapi, itupun semu. Mau nggak mau, Adis harus bertahan sendirian.

Ponselnya berdering pelan, tanda panggilan masuk. Tapi, Adis nggak berniat untuk menerima telepon. Setelah bunyinya redam, nggak lama ponselnya kembali berdenting. Kali ini tanda pesan masuk. Dengan malas, Adis merogoh tas untuk memgambil ponsel.

From +621821356****
Aku ada bersamamu.

Adis mengerutkan kening kebingungan membaca isi pesan tanpa nama pengirim itu. Nggak mau terlalu ambil pusing, mengira orang salah kirim juga, Adis nggak merespon apa-apa. Kejadian hari ini sudah cukup membuatnya pusing.

Suara kenop pintu diputar, mengalihkan atensi Adis. Davin masuk setelahnya. Tanpa sengaja, keduanya saling bertemu pandang. Davin berdiri di ambang pintu. Menjatuhkan pandangannya ke arah Adis.

Hening.

Dari keduanya nggak ada niatan untuk saling membuka suara. Minimal sapaan. Tapi yang ada justru saling menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Davin sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Adis hanya bisa pasrah tak melawan.

"Baru pulang?" Akhirnya Davin yang memulai pembicaraan. Adis menganggukan kepala pelan sebagai jawaban. Enggan mengeluarkan suara.

"Bersihin badan terus istirahat sana," ucap Davin dengan nada memerintah.

"... okay," sahut Adis pelan. Beranjak dari sofa dan segera berjalan ke kamar. Bermaksud untuk mencuci muka dan ganti baju.

Setelah punggung Adis menghilang ke kamar. Davin mengambil duduk di sofa. Melepas sepatu PDL dengan sisa tenaga.

Ting!

Suara ponsel Adis kembali berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk. Davin melirik pada benda persegi yang tergeletak tepat di sisinya. Davin melirik ke arah kamar sesaat sebelum menyambar ponsel milik Adis.

Terkunci.

Davin mengerutkan kening pelan. Berpikir sesaat untuk membuka penguncian ponsel Adis. Segaknya lebih mudah, karena cewek itu menggunakan kode angka, bukan gambar pattern.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang