Domine Eduard Osok Airport.
Dari kaca jendela pesawat, Adis bisa membaca tulisan itu besar-besar. Suasana baru yang terasa asing. Adis berjalan mengikuti Davin turun dari pesawat. Sejak tadi matanya tak henti untuk diedarkan. Hawa gersang, panas, benar-benar terasa. Padahal jarum jam masih menunjukan angka tujuh pagi hari. Bandara yang nggak sebesar di bandara Ujung Pandang, bahkan di sini semua terlihat sederhana. Tadi Adis juga sempat melihat rumah-rumah panggung di bibir pantai, juga perahu-perahu mesin yang berjajar memenuhi tempat itu.
"Yuk!" Suara Davin menarik atensi Adis. Tangan kirinya terulur mengambil salah satu koper besar dan menariknya. Sementara Davin membawa dua koper sekaligus.
"Sepi, ya," ucap Adis. Davin menoleh sekilas seraya tersenyum.
"Iya. Semoga kamu betah," ucap Davin. Langkah panjangnya sedikit membuat Adis kesulitan mengimbangi. Tepat di pintu keluar, para penumpang yang baru saja datang bersamaan dengan Adis memenuhi muka bandara. Sopir-sopir taxi mulai menjajakan jasa mereka.
Adis menghentikan langkah saat suara lengkingan seorang laki-laki berkulit hitam terdengar. Laki-laki mabuk yang memaki semua orang di bandara. Adis sendiri nggak tahu orang itu bicara apa. Hanya terdengar lamat-lamat. Adis melirik ke arah Davin. Ingin tahu reaksi suaminya itu melihat kejadian di depannya. Beberapa sopir taxi mencoba menarik laki-laki itu menjauhi para penumpang. Tapi, yang ada laki-laki itu semakin mengoceh, berteriak. Menuding orang-orang yang berdiri menunggu jemputan. Davin nggak bereaksi apa-apa. Bahkan ekspresinya pun datar. Seolah itu bukan hal yang perlu ditakutkan, apalagi mengejutkan.
"Itu dia," gumam Davin. Menemukan teman selettingnya --Abraham Sahisolon berada di balik kemudi sebuah mobil Avanza hitam. Davin melambaikan tangan.
"Ayo, Dis," ajak Davin. Berjalan cepat mendekati Abraham yang sudah keluar dari mobil. Membukakan bagasi untuk menyimpan koper-koper yang dibawa Davin dan istrinya. Adis langsung masuk ke dalam mobil begitu kopernya diambil Davin. Takut. Karena laki-laki itu terlihat mengerikan.
"Kaget, ya?" tebak Abraham. Mobil hitam itu melaju pelan keluar dari area bandara. Berbelok ke kanan memasuki jalan Basuki Rahmat KM 8. Davin menoleh ke belakang, lalu menatap Abraham.
"Udah biasa," jawab Davin mengulas senyuman.
"Uduk kowe, Le. Bojomu kui lho," sahut Abraham dengan bahasa Jawa yang kental. Adis pura-pura menulikan telinga. Memilih diam dan menatap ke sisi jendela. Deretan ruko-ruko berjajar cukup rapi. Sesekali mobil terasa bergoyang karena jalanan yang nggak mulus. Berlubang di sana sini.
"Gimana kabarmu?" tanya Davin. Abraham melirik rekannya sekilas.
"Baik. Puji Tuhan," ucap Abraham. "Kamu pinter banget, ya. Dimutasi ke sini bawa istri. Licik kali."
"Kalau nggak kubawa, yang ada pas balik dia udah diambil orang," seloroh Davin.
Nggak butuh waktu lama. Jarak bandara dengan batalyon hanya beberapa kilometer saja. Waktu tempuh juga sekitar sepuluh menit. Mobil Avanza itu menyalakan lampu sen kanan. Berbelok ke batalyon. Adis semakin intens menatap ke luar jendela. Nggak seperti yang dia bayangkan. Batalyonnya masih di jantung kota, nggak sampai melosok-melosok. Masih ada sinyal. Pertokoan juga banyak berjajar, meski nggak seramai di Magelang, apalagi Jogja.
Mobil itu berhenti tepat di depan pos penjagaan. Davin keluar dan disambut dengan dua orang tentara yang bertugas pagi itu. Ketiganya terlihat sedang terlibat pembicaraan serius. Diam-diam Adis memperhatikan gerak-gerik Davin yang terlihat kaku di hadapan anak buahnya.
"Mbak, kenal Davin dimana?" tanya Abraham. Menatap Adis dari kaca spion dalam mobil.
"Di rumah," jawab Adis sekenanya. Cenderung tanpa nada malah. Abraham mendenguskan tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...