Puri Agung Ubud Krisnakusuma terletak tepat di jantung kota Ubud. Puri Ubud masih memiliki tata ruang dan bangunan yang dipertahankan seperti aslinya. Di halaman depan, setelah pintu gerbang, terdapat area yang disebut Ancak Saji. Disini seminggu sekali diadakan pertunjukan seni tari untuk wisatawan. Dan setiap hari, dilaksanakan latihan dari berbagai kelompok seni musik yang ada di Ubud. Di sinilah Marissa Nathania Winata menghabiskan kesehariannya. Menjadi mentor seni lukis untuk para wisatawan mancanegara sekaligus sukarelawan yang memberikan sumbangan cukup besar bagi berjalannya kegiatan seni di Puri Agung Ubud Krisnakusuma, Bali.
"Marissa, ada tamu untukmu." Suara Bli Gede menarik atensi Marissa dari kegiatannya mengoplos cat air untuk lukisan doodle-nya yang bergambar seorang gadis remaja sedang cemberut. Marissa menoleh, meletakan kuasnya dan beranjak dari duduk. Melangkahkan kaki keluar dari pondokan tempat dimana ia tinggal. Melewati Ancak Saji yang ramai dengan para penari tradisional dan pemain gamelan sedang latihan untuk penampilan nanti malam.
"Orangnya menunggu di luar gapura," ucap Bli Gede saat melihat Marissa menatapnya bingung. Marissa ber-oh pelan dan melanjutkan jalannya. Seorang cowok dalam pakaian stelan celana kain gelap dan kemeja biru langit, berdiri membelakangi gapura.
"Maaf ... siapa, ya?" tanya Marissa. Menebak-nebak siapa tamu yang datang menemuinya ini. Cowok itu membalikan badan seraya melepaskan sunglasses-nya. Tersenyum penuh arti.
"Tristan?" ucap Marissa nggak percaya. Buru-buru cewek itu mendekat dan memeluk Tristan dengan erat. "Kok bisa di sini sih?"
Tristan mengurai pelukan. Melempar senyuman penuh rahasia kepada Marissa. Cewek itu kontan menaikan alisnya seraya terkekeh. Mencubit gemas lengan Tristan yang sama sekali nggak kenyal.
"Jadi, nggak boleh nih aku ke sini?" Tristan pura-pura menekuk wajahnya kecewa.
"Eii ... boleh lah. Kudunya sering-sering malah," sahut Marissa bersemangat. Tristan mengusap puncak kepala Marissa dengan lembut.
"Pengennya. Tapi, apalah abdi negara macam aku ini. Dapat cuti seminggu aja udah bersyukur banget." Marissa nyengir tanpa dosa. Tanpa canggung menggamit lengan Tristan dan setengah menariknya untuk masuk ke dalam Puri.
Entah ada angin apa, cowok berpangkat Letnan itu mau menyempatkan waktu mengunjungi Marissa di Ubud. Meski penasaran, tapi Marissa membiarkan saja. Dia sudah tahu bagaimana Tristan. Nanti cowok itu juga pasti akan cerita dengan sendirinya.
*****
"Sejak kapan, ya, statusku berubah dari istri ke tawanan?" Suara Adis adalah sambutan manis tatkala Davin pulang kerja. Cowok itu bahkan belum melepas sepatu PDL-nya. Adis beranjak dari duduk. Berdiri menantang tepat di depan Davin.
"Mau kamu tuh apa sih? Ternyata aku salah nilai kamu!" lanjut Adis lebih pedas. Davin mengerutkan kening dalam. Sempat gagal paham dengan murka Adis yang mendadak. Tapi, sedetik kemudian Davin ingat. Cowok itu menghela napas kasar. Kesabarannya tengah diuji.
"Oh ...," gumam Davin tanpa minat. Cowok itu duduk santai di sofa. Melepas sepatu dan segala atribut seragam yang sudah seharian dikenakan.
"Nggak usah berlebihan deh, Dav," ucap Adis. Kali ini nada suaranya sudah menurun drastis. Davin melirik cewek mungil itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kalau boleh jujur, Davin sebenarnya malas bertengkar. Apalagi mendebatkan sesuatu yang sama sekali nggak penting.
"Duduk," ucap Davin. Meski diucapkan dengan nada biasa tapi ada sarat perintah. Dengan ogah-ogahan Adis duduk di kursi plastik nggak jauh dari Davin.
"Satu. Aku belum ngizinin kamu keluar batalyon karena aku sendiri belum paham betul kondisi daerah ini. Baru hari ini aku cek seluruh laporan, itupun masih ada yang belum aku periksa. Kedua, aku nggak pengen kamu kenapa-kenapa. Karena apa?" Davin menggantungkan ucapannya. Tubuhnya sengaja dicondongkan ke depan mendekati wajah Adis. Refleks cewek itu menjauhkan wajahnya dengan kaku. Davin menatap tepat di manik mata Adis. Tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...