Sepuluh

9.2K 774 21
                                    

"Thanks, Mas," ucap Adis seraya turun dari motor. Menyerahkan helm miliknya kepada Mas Damar. Hari ini Adis terpaksa ke kampus diantar oleh kakaknya lantaran si matic kesayangan sedang ngadat dan minta ke bengkel. Berhubung hari ini dia harus menemui dosen pembimbing, jadi selesai apel pagi Mas Damar mengantarnya.

Adis melangkahkan kaki memasuki pelataran halaman kampus yang hampir empat tahun ini menjadi saksi bisu kisah-kisahnya. Mulai dari saat jadi mahasiswa baru, penampilan-penampilan dia pada pagelaran teater, sampai detik-detik dia menyelesaikan studi.

"Adiiiisss!!" seru sebuah cempreng yang khas dan amat Adis kenal. Siapa lagi jika bukan Rieke Anastasia Khisah. Cewek berdarah Jawa-Ambon itu menyunggingkan senyum lebar seraya mendekati Adis.

"Nggak pernah ada kabar ih. Kemana aja sih?!" Rieke langsung menghujani Adis dengan tanya. Yang ditanya malah cengar-cengir tanpa dosa.

"Kangen yaaa? Mojok mulu sama Satria sih," goda Adis. Rieke mendengus setengah kesal mendengar godaan Adis. Kentara sekali Adis lagi ngeles.

"Jadi beneran nikah sama si anak Pangdam itu?" Rieke melirik Adis penuh ingin tahu. Ditanya begitu Adis mendadak jadi mendung. Sumringah di wajah seketika hilang.

"Lah kok diem, Dis?" tanya Rieke lagi. Penasaran.

"Aku ke ruang dosen dulu ya, Ri. See you soon," pamit Adis. Menepuk bahu sahabatnya itu sekilas, kemudian melangkah cepat ke ruang dosen. Rieke dibuat terheran-heran dengan perubahan sikap Adis yang mendadak. Pasti ada yang disembunyikan gadis itu. Rieke menatap punggung Adis sekali lagi. Menghela napas pasrah. Hanya bisa menghargai privasi sahabatnya itu.

*****

Sudah setengah jam Adis berdiri di depan halte kampus. Menunggu angkutan kota yang sejak tadi belum menunjukan tanda-tanda. Aneh banget. Padahal masih siang begini. Sejauh yang Adis tahu juga nggak ada wacana soal demo sopir angkot. Tapi kenapa mobil bercat kuning itu belum juga nongol. Adis berdiri dengan gelisah. Meski ini bukan kali pertama ia memanfaatkan jasa transportasi umum, tapi pasti ada aja yang bikin hatinya ketar-ketir. Sebuah motor sport merah berhenti mendadak tepat di depannya. Suara rem yang ditarik kuat-kuat membuat ban bergesekan dengan aspal. Decitannya cukup memekakan telinga dan menarik perhatian orang di sekitar. Motor merah tadi nyaris menabrak seorang mahasiswi yang mengendarai motor tanpa memperhatikan jalan. Berbelok tanpa menyalakan lampu sen.

Adis tertegun saat si pengendara motor merah membuka helm. Kebetulan atau takdir. Ini kali kedua Adis bertemu Tristan tanpa sengaja. Melihat orang-orang mendekati, Adis buru-buru mengikuti.

"Nggak apa-apa, Mas?" tanya seorang bapak-bapak kepada Tristan.

"Nggak apa-apa, Pak. Agak kaget aja," jawab Tristan seraya menggerakan tangan kanannya yang terasa kebas.

"Mas Tristan?" panggil Adis ragu di antara kerumunan orang. Tristan memutar kepalanya mencari si sumber suara.

"Lho? Adis?" Tristan setengah terkejut. Motornya ditepikan bersamaan orang-orang yang membubarkan diri setelah memastikan Tristan dan si mahasiswa tadi baik-baik saja. Adis mendekati Tristan.

"Nggak apa-apa?" tanya Adis. Meski pertanyaan itu sudah ditanyakan oleh orang-orang dan mendengar jawabannya. Tapi, Adis ingin menanyakan langsung sendiri. Tristan menyunggingkan senyum.

"Better. Lebih baik karena ketemu kamu lagi," jawab Tristan. Melangkah menaiki motor. "Mau kemana kamu?"

"Pulang."

"Ngangkot sekarang?" tanya Tristan setengah takjub.

"Motornya di bengkel. Tadi pagi dianter Mas Damar," jelas Adis. Tristan mengangguk-anggukan kepalanya paham. Ia setengah memutar tubuhnya, mengambil sebuah helm yang digantung di samping jok.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang