Lima

13.1K 1.1K 49
                                    

"Akhirnya menikah juga," ucap Harith dengan seringai lebar. Kedua anggota tentara itu sedang duduk-duduk santai di taman depan mess perwira sambil ngopi dan makan pisang goreng. Davin melirik rekan sejawatnya itu sekilas.

"Sok tahu," ujar Davin. Harith menegakan tubuhnya.

"Nggak usah lah sok ditutupi dariku, Vin. Beritanya juga sudah menyebar," ucap Harith seraya menepuk bahu Davin. Tubuhnya sengaja dicondongkan ke dekat Davin dan setengah berbisik. "Jangan ngelangkahin sahabatmu, tapi."

Tawa Davin pecah seketika. Langsung saja disingkirkannya tangan Harith dari pundak.

"Itu juga belum pasti. Wacana, wacana. Ngerti nggak?" sahut Davin. Harith mendecak malas seraya melempar pandangan malas  ke arah Davin dengan raut wajah sedikit kecewa.

*****

Skripsi memuakan. Sudah bolak-balik menemui dosen pembimbing, tapi masih saja revisi dimana-mana. Yang bikin Adis uring-uringan adalah dosennya pikun. Bagian yang kemarin katanya sudah fix, hari ini malah disuruh revisi lagi. Kan sialan banget. Siang bolong, tepat tengah hari dan matahari sedang semangatnya manas-manasin, lapar, duit menipis habis untuk mencari jurnal ke sana kemari, akhirnya Adis memilih untuk pulang ke rumah dengan membawa mood buruk ikut serta. Motor matic-nya berhenti tepat di depan rumah. Nggak bisa masuk karena ada mobil Innova hitam yang parkir tepat di depan gerbang.

"Ada tamu," gumam Adis seraya berjalan masuk ke dalam dengan menenteng helm di tangan kiri dan tas dokumen di tangan kanan.

Dari teras sudah terdengar suara obrolan Papah dan entah suara siapa lagi. Adis masuk ke dalam rumah. Langkah kaki Adis langsung terhenti di ambang pintu tatkala iris jelaganya menangkap sosok cowok menyebalkan yang cukup dikenal lantaran bikin kesel.

"Adis sudah pulang. Sini, Nak," sapa Mamah seraya beranjak dari duduk. Wanita itu menghampiri Adis yang masih berdiri canggung. Ada Mas Damar juga rupanya. Adis mulai menebak-nebak sedang ada pembicaraan apa siang ini di rumahnya. Terlebih Davin nggak datang sendiri. Ada orangtua juga seorang gadis yang seumuran Adis.

Mau kasih undangan nikahan kali, ya. Batin Adis. Dia menatap ibunya, lalu ikut duduk. Bergabung di ruang tamu.

"Ehem! Kebetulan sekali Nak Adis sudah pulang. Jadi, saya mewakili keluarga bisa bicara langsung mengenai maksud dan tujuan kami datang ke rumah Dek Hari," ucap Widodo setelah Adis duduk dengan takzim di samping ibunya. Memasang wajah sok serius dan penuh minat. Padahal dalam hati, ingin ngacir ke kamar.

"Saya mewakili putra sulung saya, Davin, untuk melamar putri bungsu Dek Hari, yaitu Nak Adis," imbuh Widodo. Adis seketika membulatkan mata, kaget bukan main. Semalam dia habis mimpi apa coba? Terus tadi Pak Marcos mendadak pikun dan mencak-mencak pas bimbingan, apa juga sudah pertanda? Apa hubungannya, Adis. Adis mengedip-ngedipkan mata dengan polosnya.

"Apa Nak Adis mau menerima?" tanya Widodo. Cukup gugup juga. Karena kedatangan ini sangat mendadak. Pasti membuat gadis itu kaget dan nggak ada persiapan apa-apa.

"Adis nggak bisa," jawab Adis spontan. Jawabannya langsung membuat semua pasang mata menatap dengan penuh tanya, termasuk Davin. Adis menggigit bibir bawahnya sekilas.

"Adis masih kuliah, masih fokus ngerjain skripsi," ucapnya setelah beberapa saat terdiam dan membuat suasana di dalam ruangan semakin mencekam. Davin sendiri mulai meredupkan sorot matanya. Pasrah.

"Kan nikahnya nggak besok, Dis. Tapi, bisa beberapa bulan ke depan," celetuk Mas Damar dan langsung mendapat lirikan tajam dari adiknya.

"Kami bisa menunggu sampai Adis selesai skripsi dan wisuda," sahut Widodo melanjutkan ucapan Damar yang setengah menggantung tadi.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang