"Adis nggak mau dinikahin!" Seruan membahana Adisti Elvina Ganes. "Pokoknya nggak! Big no! Apalagi sama dia! No no no!"
*****
Poso, Sulawesi Tengah
Tiga bulan yang lalu
Pegunungan Fennema sepanjang hari terlihat damai. Kabut tipis yang merendah. Sayup-sayup binatang hutan bercengkerama. Tupai yang menari dengan lincah. Aroma dedaunan basah sisa cumbuan embun membentuk memori imaji tersendiri. Setiap langkah kaki harus mantap. Setiap pergerakan sepasang bola mata nan jernih harus waspada, bak elang yang menemui mangsanya.
"Setiap prajurit harus punya kelapangan hati. Lapang dalam bertugas, lapang untuk negara, dan lapang untuk teguh pada sumpah. Prajurit harus bisa menjaga cinta yang tumbuh di dalam hati. Untuk negara, untuk orang-orang yang dicintai."
Sepatah kata yang masih tersisa di dalam ingatan Davin, tatkala dia berpamitan untuk pertama kalinya menjalani operasi. Ayahnya--Erlandhyto Widodo, untuk kedua kali dalam hidupnya merasa menyesal. Davin adalah anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki. Widodo tahu betul bagaimana kepergian prajurit untuk tugas negara.
"Krysandavin!" Suara lantang milik Kapten Damar sontak mengagetkan Davin. Buru-buru Davin menegakan tubuh. Cowok itu menatap Damar dalam posisi duduk siap.
"Ragu-ragu, silakan kembali," tandas Damar dengan sorot ororiter yang kuat.
"Siap, tidak!" sahut Davin lantang.
Damar menghela napas pelan. Kedua tangannya bertumpu ke tepi meja. Menatap peta kontur yang membentang.
"Kita akan bertemu di titik koordinat 305.120 Daek Luhur. Paham?" ucap Damar mengakhiri penjelasannya. Semua yang ada dalam ruang menjawab dengan serempak.
"Saya sendiri yang akan memimpin operasi," imbuhnya. Seketika ruangan mendadak menjadi kaku. Davin menyusutkan sorot matanya, menatap Damar dengan pandangan yang sulit diartikan. Dari lirikan mata, Davin bisa melihat beberapa anggota juga memasang ekspresi wajah nggak percaya.
*****
Fennema jauh terlihat lebih cantik subuh itu. Kesunyian penuh misterinya menciptakan kedamaian dalam hati. Hanya sesaat, setelahnya suara membising tembakan ada dimana-mana. Timah-timah panas bergerak silih berganti bak gerimis yang manis.
Berpasang-pasang mata tampak saling menajam. Jiwa-jiwa memberontak beradu saling bertahan hidup. Hingga, pergerakan lain pun tertangkap indera. Damar refleks membalikan tubuh. Menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk Davin. Tanpa bisa dicegah lagi, sebuah timah panas tepat bersarang di bahu kiri lelaki yang baru saja dipanggil ayah itu. Davin membulatkan mata tak percaya.
"Capt!" seru Davin dengan suara bergetar. Davin panik dan susah payah memapah tubuh itu ke tempat yang jauh lebih aman.
"Bang!" Suara Davin kembali terdengar. Wajahnya benar-benar panik saat melihat Damar terkulai di pangkuannya. Darah segar mengalir deras ke tangan dan celana Davin.
"Bang, bangun! Buka matamu!" Davin mengguncang tubuh itu beberapa kali.
"Bang, yang tabah. Kita harus segera membawa Kapten Damar ke basecamp!" seru Serda Rofiq. Tanpa sadar airmata sudah deras mengaliri wajah Davin. Tubuhnya bergetar hebat.
*****
"Tidurlah dulu, Bang. Biar saya yang gantikan menunggui Bang Damar," ucap Sertu Bagas. Davin mengangkat wajah agar bisa menatap bawahannya itu dengan sorot sendu yang kentara. Kepalanya lantas menggeleng pelan.
"Saya tidak bisa tidur, Gas. Belum, sebelum Bang Damar sadar," lirihnya. Bagas menghela napas pelan, kemudian mengambil duduk di sisi Davin. Mungkin suka dukanya menjadi seorang tentara ya seperti ini. Harus bisa melapangkan hati saat mata melihat kawan sejawat yang gugur ataupun terluka. Meski dendam menyelimuti hati, toh pada akhirnya harus bisa mengikhlaskan. Menyambung cita-cita yang gugur lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...