"Lho, Dis. Kok cepet?" Suara Mamah langsung menyambut kepulangan Adis. Cewek yang masih menekuk wajahnya itu hanya menggumam pelan. Malas bicara. Adis langsung berjalan menaiki anak tangga ke kamarnya. Nggak peduli Davin yang masih ada di sana.
"Sudah pulang, Nak Davin? Kok cepat?" Mamah mengulang pertanyaannya. Davin menyunggingkan senyum simpul.
"Iya, Tante. Saya mau pamit. Hanya memastikan kalau Adis sudah sampai rumah dan bertemu tante," ucap Davin takzim. Mamah langsung kepincut dengan sopan santun Davin. Ditepuknya lengan Davin pelan.
"Terima kasih, ya. Maaf kalau Adis sering bikin kesel kamu. Maklum, anak ragil. Biasa dimanja sama Papahnya," ucap Mamah tak enak hati. Setelah ini dia akan menyidang putri semata wayangnya itu. Pasti.
"Nggak apa-apa kok. Saya pulang dulu, Tan. Assalamu'alaikum," pamit Davin. Menyalami tangan Mamah kemudian, berlalu keluar rumah.
Mamah menatap kepergian Davin sampai mobil cowok itu menghilang. Mencium ada hal yang nggak beres, wanita paruh baya itu langsung melangkahkan kakinya ke kamar Adis. Apalagi kalau bukan menginterogasi si kecil satu itu. Mamah membuka pintu kamar dan menemukan anak gadisnya yang tengah tiduran di ranjang dengan ponsel di tangan serta headset yang menyumpal kedua telinga. Melihat Mamahnya masuk, Adis segera melepaskan headset.
"Bertengkar?" tanya Mamah hati-hati. Adis mendesah malas. Sebenarnya dia nggak mau membahas masalah kepergiannya dengan Davin tadi. Tapi berhubung Mamah bertanya, kalau mengelak juga percuma. Mamah pasti akan terus mencecarnya. Jadilah Adis membuka mulut.
"Mah, kenapa sih harus ada perjodohan seperti ini? Adis sudah besar, Mah. Bisa memilih mana yang baik dan buruk untuk Adis sendiri. Mas Damar dan Mas Akbar nggak dijodohkan, kenapa Adis nggak?" tanya Adis dengan nada lembut. Berbicara baik-baik, kepala dingin, dan dari hati ke hati memang lebih enak. Mamah menyunggingkan senyum. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Adis.
"Mamah dan Papah sebenarnya nggak memaksakan ini sama kamu. Semua keputusan kan di kamu. Mamah dan Papah hanya bisa menghargai. Tapi ...." Mamah menggantungkan ucapannya. Menatap tepat ke manik mata Adis, "nggak ada salahnya mencoba pendekatan sama Davin. Bukannya Mamah membela dia, ya. Cuma kalau Mamah lihat dia anaknya baik dan nggak tahu kenapa, Mamah yakin aja dia bisa jagain kamu."
"Ih! Mamah nggak tahu aja gimana nyebelinnya dia. Di depan Mamah aja tuh dia pencitraan," sambar Adis cepat. Mamah tergelak pelan. Menyubit pipi Adis setengah gemas.
"Orang mana ada yang sempurna sih, Dis. Papahmu juga kadang nyebelin," sanggah Mamah. Membuat Adis mau nggak mau menarik sebuah senyuman juga. Gadis itu terdiam beberapa saat. Mencoba mencerna setiap ucapan Mamah tadi. Memang sih, keluarganya nggak ada yang melakukan pemaksaan. Adis sendiri kalau boleh jujur juga lumayan penasaran seperti apa sosok Davin yang sebenarnya. Sayangnya, kepentok gengsi.
Adis menatap layar ponselnya untuk beberapa saat. Jari jemari lentiknya menari di atas layar sentuh. Ketik, hapus, ketik, hapus, begitu terus sampai dia setengah memekik, kesal sendiri.
"Masa kirim pesan duluan sih," gumamnya setengah nggak yakin. Setelah mengobrol sama Mamah tadi, mendadak dia jadi merasa bersalah sekali dengan Davin. Harusnya dia nggak perlu sebegitu kasarnya hanya karena urusan ukuran cincin. Kesannya kok Adis ini barbar sekali.
To. Davin Jueelekz
Maaf.
Satu kata itu akhirnya diputuskan Adis untuk dikirim ke whatsapp Davin. Sudah terkirim, sekarang giliran jantungnya yang bertabuh seperti genderang. Seperti orang gaptek yang baru tahu hape, Adis memandangi layar ponsel. Ditambah saat notif chat berubah dibaca. Adis bahkan bisa merasakan kedua tangannya mendingin karena tegang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romansa"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...