Seperti seorang pencuri yang ketahuan saat melakukan operasinya. Begitulah kurang lebih posisi Adis saat ini. Berdiri di teras rumahnya sendiri dan berhadapan dengan Davin. Adis sudah bisa menebak ucapan pedas macam apa yang akan meluncur dari bibir Davin. Sesekali Adis melirik ke dalam rumah. Berharap si mamah keluar dan menyuruh Davin pulang. Tapi, hal seperti itu hanya akan jadi halusinasi Adis. Roman-romannya si mamah sudah angkat tangan, menyerahkan penanganan kelakukan Adis pada ahlinya. Dalam hal ini --menurut mamah, of course-- Davin yang pas.
"Ponselmu?" tanya Davin memulai interogasi.
Meski hubungan di antara keduanya masih belum jelas. Atau lebih jelasnya begini : Davin menganggap Adis sebagai calon istri--yang dalam hal ini (lagi) status Adis lebih dari pacar. Sementara di pihak Adis, Davin bukanlah siapa-siapa. Jadi di titik ini, Adis merasa dia nggak melakukan kesalahan apapun, dimana ia seolah diharuskan bertanggungjawab kepada Davin.
"Baterainya habis," jawab Adis sekenanya.
"Kemana aja?" tanya Davin lagi. Kali ini lebih menyelediki. Adis menatap cowok itu sesaat sebelum menjawab.
"Main," singkat Adis.
Davin sudah akan membuka mulut untuk bertanya lagi, tapi Adis lebih dulu menimpali.
"Wait! Kok aku jadi bego gini sih," gumam Adis. "Ngapain juga aku ngeladenin interogasi kamu. Mamah aja fine-fine kok."
Davin menaikan alis mendengar protesan dari bibir Adis. Kedua tangan cowok itu terlipat di depan dada. Nggak ada suara yang keluar. Davin justru menatap Adis dengan pandangan yang sulit diartikan. Dipandangi seperti itu Adis jadi salah tingkah sendiri.
Ini cowok kesambet kali ya. Batin Adis. Menggigit bibir bawah. Sesekali melirik Davin, sesekali menatap ke arah yang lain.
"Jangan bikin orang rumah khawatir. Kamu udah besar. Harusnya tahu mana yang penting dan nggak. Jangan egois," tandas Davin. Kontan Adis langsung memutar bola matanya. Sebuah sikap kurang sopan, lantaran dilakukan tepat di hadapan lawan bicara. Tapi, Davin mencoba memaklumi untuk saat ini.
"Lusa kamu ada tes kesehatan. Setelah itu pembinaan mental," ucap Davin. Adis menghela napas pelan.
"Aku belum menandatangani berkas-berkas itu. Aku masih belum bisa memutuskan. Jadi ..."
"Aku akan cari tahu siapa cowok yang bikin kamu pulang sampai larut begini," potong Davin cepat. Adis langsung melongo.
"K-kamu mau ngapain?" tanya Adis polos.
"Besok pagi aku ke sini lagi. Itu berkas harus sudah kamu tandatangani," imbuh Davin. Pun masih dengan nada yang sama. Tegas dan otoriter. Adis menatap Davin nggak percaya.
"Excuse me, who do you think you are?" tanya Adis dingin. Tanpa menunggu Davin melontarkan ucapan pedas, ia sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Sayangnya, baru selangkah kaki Adis menapaki dalam rumah, Davin sudah lebih dulu menyeret gadis itu hingga terduduk di kursi teras. Nggak butuh waktu lama, Davin sudah mengunci Adis dengan kedua tangannya yang memegangi lengan kursi. Davin mencondongkan tubuhnya. Membuat Adis gelagapan dan salah tingkah. Ini terlalu dekat untuk ukuran saling tatap --wajah dengan wajah. Radius cium. Begitu Adis bergumam dalam hati.
Ya Allah, kuatkan kuatkan. Batin Adis. Jantungnya berdegup semakin gila. Bahkan saat tenggorokannya terasa kering, menelan ludah pun harus dengan susah payah. Davin belum ingin mengeluarkan suara. Cowok itu justru menatap lurus-lurus manik mata Adis. Membuat cewek itu semakin memucat dan salah tingkah.
"K-kamu mau apa?" tanya Adis dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan canggung.
Perlahan-lahan tatapan mata Davin meredup. Cowok itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, luruh dan bersimpuh tepat di depan Adis. Kontan Adis semakin bingung dibuatnya. Davin memegangi kedua tangan Adis dengan erat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...