13

12.7K 268 5
                                    


Hari minggu ke tujuh belas sejak pernikahan mereka.

Genta terbangun dari tidur karena merasakan celah di samping ranjangnya. Tangan kanannya bergerak menelusuri ranjang dengan mata tertutup dan Jeannie memang tidak ada disana.

Dengan geraman kecil, Genta memutuskan membuka matanya. Mengumpulkan nyawa yang masih setengah melayang-layang lalu beranjak dari ranjang.

Kakinya menyusuri kamar mereka yang luas dan berakhir di kamar mandi.

Sementara di lain tempat, Jeannie sedang meringkuk di sofa ruang tengah. Wajahnya pucat dan ia merasakan pusing yang teramat hingga tak mampu berdiri hanya untuk mengambil segelas air minum. Niatnya dari awal keluar kamar memang mengambil minum di dapur, tapi sayang pusing lebih dulu datang dan membawa tubuh ideal yang ringkih tersebut teronggok di sofa ruang tengah.

Mulutnya bahkan tak sanggup berteriak memanggil sang suami karena tenaga seperti habis terkuras. Pun sebenarnya sedari tadi Jeannie menahan mual.

♥️♥️♥️

Sepuluh menit berlalu, Genta keluar kamar dan menatap jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 6:45 pagi. Laki-laki dewasa itu berjalan ke arah lemari, mengambil satu potong kaos berwarna biru navy dengan motif gajah lalu memakainya sebelum memutuskan keluar kamar mencari sang istri.

Derap langkah kaki turun dari atas membuat Jeannie menolehkan kepalanya dengan susah payah. Ia berharap Genta segera membopongnya kembali ke kamar supaya ia bisa meringkuk dengan leluasa di ranjang empuk mereka.

"J-" pekikannya seakan terhenti otomatis saat masih di ujung tangga. Menatap khawatir wajah istrinya yang sedang meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Laki-laki itu pun akhirnya menghampiri dengan tergesa.

Sepontan kakinya berlari ke arah Jeannie lalu berjongkok di depannya. "Hei kamu kenapa?"

Jeannie menggeleng pelan, "Bisa bawa aku ke kamar?"

"Tapi wajahmu pucat sayang. Seingatku empat jam yang lalu badanmu baik-baik saja dan masih bisa bergerak dengan giat." Mau tak mau Jeannie merona karena ucapan Genta barusan.

Jeannie kembali meringis, "Okay apa sesakit itu?" Ucapnya seraya mengelus perut istrinya.

"Bisa bawa aku ke kamar bee?" Genta mengangguk, lalu berdiri dan berjalan menjauh menuju nakas di mana kunci-kunci biasa di letakkan.

Sesaat kembali ke hadapan Jeannie, kedua tangannya dengan sigap menggendong Jeannie ala bridal style lalu berjalan dan bukan jalan ke kamar melainkan ke pintu utama. "We need to the hospital right now, I don't need your permission."

❤️❤️❤️

"Kondisi Bu Jeannie baik-baik saja. Beliau hanya kelelahan," Dokter itu menjelaskan sembari menulis resep. "Ah ya saya hampir lupa. Usahakan tidak melakukannya lagi setelah ini. Setidaknya sampai usia kandungan Bu Jeannie memasuki delapan bulan karena kondisinya lumayan rentan jika masih di awal masa kehamilan."

Genta serta Jeannie pun merona menahan malu. Mereka yang tak bisa menahan napsu, membuat sesuatunya menjadi kacau.

"Di situ sudah saya tulis resep lengkapnya. Ada vitamin penguat kandungan juga. Oh iya ini hasil usgnya." Dokter tersebut adalah Dokter Maria yang dari tiga minggu yang lalu menangani kondisi kehamilan Jeannie.

Usia kandungan Jeannie sudah memasuki minggu ke empat. Awal mula mereka tahu bahwa Jeannie sedang mengandung karena Jeannie yang mendadak pingsan di mall saat sedang berbelanja bersama salah satu temannya.

♥️♥️♥️

Mobil mereka memasuki basement penthouse milik Genta. Tidak ada dari keduanya yang memulai pembicaraan saat perjalanan. Sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing meski sudah di pastikan Genta sibuk fokus pada jalanan di depan.

"Kita harus segera mencari rumah J." Genta berucap sembari membukakan pintu untuk Jeannie.

Keduanya melangkah pelan menuju lift untuk naik ke lantai paling atas. "Memangnya kenapa?"

"Semakin lama perutmu akan semakin membesar dan aku tidak mau kamu sibuk sendiri di penthouse. Kalau kita membeli rumah, di sana bisa ada maid yang akan 24 jam menjaga kamu dan bisa lapor setiap saat kalau aku lagi di luar kota."

"Lebay." cibir Jeannie saat keduanya melangkah memasuki lift.

Kebetulan saat itu lift tengah kosong, entah siapa yang memulai, Genta sudah memeluk Jeannie dari belakang dan mencium pipi kiri Jeannie, "Thankyou for this" ucapnya seraya mengelus perut Jeannie yang masih rata.

"Kamu yakin tidak ingin memberitahu siapapun tentang hal ini?" Genta menggeleng.

"Tapi ini sudah tiga minggu." Lagi-lagi Genta menggeleng.

"Biarkan seperti ini dulu. Bukankah rumah tangga kita aman-aman saja tanpa kabar dan campur tangan kedua keluarga kita." karena nyatanya memang begitu Jeannie memilih bungkam setelahnya.

Mereka melangkah keluar lift bersama setelahnya dengan Jeannie yang masih membisu sedari menyadari ucapan Genta beberapa saat yang lalu. Tangan Genta aktif memencet pin pintu penthousenya. Ia berjalan masuk dan meletakkan bungkus obat di atas meja ruang tengah, sedang Jeannie melangkah naik memasuki kamar mereka.

Tidak ada percakapan untuk sementara waktu di antara mereka berdua. Jeannie sibuk dengam pikirannya di dalam kamar. Sementara Genta sibuk dengam gadgetnya di ruang tengah.

Hingga tiga puluh menit berselang, Genta memutuskan melangkah ke arah kamar, menghampiri istrinya karena ia merasa rindu menjahili sang istri.

Pintu kamar tidak tertutup, dari ambang pintupun Genta bisa melihat bahwa Jeannie tertidur di ujung ranjang milik mereka dengan masih memakai sandal dan jaket Genta yang di pakainya untuk ke Rumah Sakit tadi.

Seulas senyum terukir di wajah tampan Genta. Ia melangkah masuk dan menutup pintunya pelan. Ia menghampiri istrinya, lalu membenahi letak tidur Jeannie.

Dan mata Genta sedikit berbinar saat ia melihat ternyata Jeannie tertidur sambil terus memegang hasil usg kehamilannya.

Setelah mengambil hasil usg tersebut dengan sangat pelan supaya Jeannie tidak terbangung. Ia mengambil ponselnya, menelpon salah satu restaurant makanan cepat saji untuk memesan makanan.

"I love you J." Gumamnya setelah mengecup ringan kening Jeannie lalu melangkah keluar kamar.

❤️❤️❤️

✅️ 4. ThunderstruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang