Part I

5.1K 191 83
                                    

Seperti biasa, sore hari ini kuhabiskan waktu di kosku. Kamar yang sudah kutempati selama hampir 5 tahun ini menjadi basecamp buatku, tempat untukku menikmati waktu, lebih tepatnya menghabiskan waktu, entah tidur sepulang kerja, goyang sambil mendengarkan lagu di-handphone atau menonton TV sampai tengah malam. Ruangan dengan luas 3 x 4 meter ini menjadi saksi bisu tentang keseharianku, dari bangun tidur sampai aku kembali tidur.

Ya, aku--Olie, cewe 24 tahun yang masih single, seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di kota yang terkenal dengan lunpianya--Semarang.

Hari-hariku memang lebih banyak kuhabiskan di kantor dan di kos. Kos-kosan yang dikhususkan untuk putri, terletak di pusat kota, dengan fasilitas yang cukup memadai, yaitu kamar mandi dalam, AC, dan TV di tiap kamar plus laundry.

"Olie, ga keluar lo? Betah amat tiap hari di kos?" seru Karen, penghuni kamar sebelah.

"Kek biasanye, hibernasi, males keluar, dah pewe neh!" balasku.

"Yaelah, gimana mau lepas dari status jomblo kalo lo ngumpet mulu, keluarlah, nikmati udara di luar, gaoool ..." ucapnya.

"Iyeee nanti, sekarang gue cuma butuh bersantai dan nikmatin kopi gue, udah lo buruan sono pergi, hussssh ..." kataku.

"Ah serah lo dah, gue titip kamar ya, kali aja tar ada bunyi-bunyian aneh, lo usir dah tuh yang pada berisik," kata Karen sambil berlalu.

"Bodo amaaat ... kamar-kamar lo, nape gue yang repot?" kataku yang dibalas dengan dengkusan Karen.

Karen, penghuni kamar sebelah yang sudah menetap selama lebih dari 7 tahun di Semarang, bisa dibilang dia penghuni abadi kosan ini karena saking betahnya berada di sini. Dia emang suka ceplas ceplos, tapi ga pernah buat masalah sama siapapun dikos ini, dia juga yang paling friendly dan care sama semua penghuni kos, termasuk sama Pak Bayu, penjaga kos di sini. Buat aku, Karen itu kaya kakak perempuanku sendiri. Usia kami terpaut 3 tahun, dan dia sebentar lagi akan menikah dan ikut suaminya pindah ke Surabaya. Bakal sepi tanpanya, tapi tak apalah.

Krucuuuk ... kruyuuk ....

Itu bunyi perutku yang kelaparan karena kurang asupan. Tadi siang aku hanya mengisinya dengan sepiring nasi putih lauk telor ceplok yang dimasak balado serta cap cay, sedangkan pagi harinya aku hanya meminum teh hangat.

"Aduh kok laper ya, tapi mager. Gimana dong? Males banget rasanya keluar lagi, ah. Persediaan cemilan dah abis, roti abis. Ah, masih ada cereal dua bungkus, bikin aja lah," kataku bermonolog.

Tok ... tok ... tok ....

Tok ... tok tok ... tok ... tok ....

Mendengar bunyi itu aku pun dengan penuh semangat bangkit dari tidurku, mengambil mangkuk dan piring juga uang di saku celana kerja, lalu berlari ke bawah. Ya, kamarku ada di lantai dua dan terletak di pojok, jadi aku bisa dengan leluasa melongok ke gang di depan kos dan tahu penjual apa saja yang lewat di depan.

Setelah kusapa Pak Bayu yang sedang menonton TV, cepat-cepat kubuka gerbang kos sambil berteriak, "PAK ... BELI ...."

Saking kerasnya teriakanku sampai-sampai si penjual mie ayam mengerem motornya mendadak dan menghasilkan suara decitan akibat gesekan ban dengan aspal.

"Hadeh si Mbak, untung saya belum jauh, jadi masih denger Mbak panggil. Tapi gak usah sekenceng itu juga kali manggilnya, kaya neriakin maling aja Mba," kata si Penjual Mie Ayam sambil menurunkan penyangga gerobaknya.

"He-he, maaf Pak! Soalnya kamar saya kan di lantai dua, ini aja dah buru-buru turun tadi. Untung ga terjun bebas saya, lagian saya takut si Bapak udah keburu jauh, makanya saya teriak kenceng, udah lapar akut nih Pak, kalau ga makan bisa mati saya," ucapku ke bapak mie ayam.

Mas GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang