"Kenapa kau bisa tahu Andrea? Siapa sebenarnya Andrea? Saat aku tanyakan pada Jansen, dia tidak pernah menjawab! Apa Andrea itu pacarnya?"
"Kau akan tahu, ikutlah denganku." Lana mengangguk. Raya menggenggam tangan Lana, lalu membawanya keluar dari rumah sakit.
"Kita mau ke mana?"
"Ke rumah sakit jiwa. Setelah itu kita beli susu untukmu." Lana berhenti sebentar, lalu dia melanjutkan langkahnya.
"Rumah sakit jiwa? Beli susunya di sana?" tanya Lana begitu polos membuat Raya menahan tawanya.
"Tidak, Lana. Kita bertemu dengan seseorang. Seseorang yang mungkin mengenalmu dan akan memberi tahu siapa Andrea sebenarnya. Karena jujur saja, aku juga belum tahu siapa itu Andrea."
"Kita jalan kaki?" Raya mengangguk. "Rumah sakitnya tidak jauh dari sini. Nah, itu sudah kelihatan!" Lana tersenyum tipis.
"Raya, rasanya aku rindu sekali pada suamiku. Aku ingin dia memelukku. Tak apa kalau dia menganggap aku Andrea asalkan di peluk." Raya menghentikan langkahnya, dia juga menghela napas.
"Lana, aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Aku juga tahu kalau kau membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari suamimu. Tapi coba lihat situasinya! Dia hanya menjadikanmu pengganti! Sama sekali tidak ada perasaan cintanya untukmu! Kau boleh mencintai Jansen, tapi bukan berarti kau mau-mau saja dimanfaatkannya."
"Aku mengerti, Raya. Ayo kita ke sana." Lana mencoba tersenyum, Raya mengangguk. Dia menarik tangan Lana dan melangkah semakin cepat.
Raya benar, Jansen juga tidak memakai cincin pernikahan kami. Dia sama sekali tidak suka padaku. Dia mau tidur hanya karena dia mabuk saja.
"Lana, ayo kita masuk...." Lana mengerutkan keningnya melihat sekitar.
"Kita mau ke mana?" Raya menghela napasnya lagi. Dia tidak menjawab Lana.
Mereka terus melangkah sampai tiba di suatu ruangan yang terdapat seorang wanita.
"Kami datang. Aku membawa Lana sesuai keinginan Anda, Nyonya...." Raya menunduk sopan pada seorang wanita yang duduk di sebuh kursi, wanita itu sibuk memeriksa telepon genggamnya.
"Kau bekerja sangat lambat sekali! Tapi tak apa, sekarang kau boleh keluar dan tinggalkan kami bedua!" Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
"Tapi aku tidak bisa meninggalkan Lana bersama Anda di sini!" Lantas saja wanita itu mengangkat wajahnya dan menatap Raya sekilas. Lalu dia menatap Lana yang hanya diam saja.
"Lana, coba katakan padaku kabar baik apa yang kau bawa, hmm?" Lana menatap Raya yang menggeleng.
"Memangnya kenapa? Kenapa aku harus memberitahumu? Aku tidak mengenalmu!"
"Nyonya Dania, Lana saat ini kurang enak badan. Oke, aku akan keluar ... tapi jangan sakiti Lana." Raya membungkukkan badannya, lalu dia keluar dari ruangan Dania.
"Lana, duduklah di sini." Dania berdiri dan menarik tangan Lana mendekati tempat tidurnya.
Setelah mereka sudah duduk berhadapan, Dania mulai membuka pembicaraan. "Bagaimana kalau kita berkenalan dulu? Meski aku sudah sangat mengenalmu, tapi tentu saja kau belum mengenalku. Iya, kan Lana?" Lana mengangguk.
"Siapa kau? Kenapa kau bisa mengenal Andrea? Apa kau juga mengenal suamiku?" Dania mengangguk.
"Lana, kau harus percaya padaku. Ada sesuatu hal yang ingin aku beritahu padamu. Ini tentang Jansen."
"Kenapa aku harus percaya?"
"Karena aku sangat mengenalnya. Andrea adalah putriku!" Lana mengerutkan keningnya, berpikir keras dengan ucapan Dania barusan sampai kepalanya terasa pusing.
"Kepalaku rasanya mau pecah!" Jerit Lana dengan kuat membuat Raya langsung masuk ke dalam ruangan persegi itu.
"Kenapa? Apa yang kau lakukan padanya?" Dania mengangkat bahunya, bersikap tidak peduli pada Lana yang wajahnya sudah pucat.
"Lana, kau kenapa?" Raya menyentuh bahu Lana yang memegangi kepalanya.
"Bawa dia pergi dari sini. Sepertinya keponakanku ini sudah mengalami banyak hal. Tapi, Raya ... bawa dia setelah sudah merasa baikan dan sehat. Mengerti?" Raya mengangguk. Dia memapah Lana turun dari tempat tidur. Membantu Lana berjalan.
"Tenang saja, Raya. Nanti kau akan mendapatkan uangmu!" Raya menulikan telinganya, tapi Lana tidak.
"Tidak usah didengarkan, Lana. Dia itu sudah gila!" Lana tidak menjawab, kepalanya semakin sakit. Lana berhenti melangkah saat dia merasa akan tumbang. Dia memeluk Raya, dan benar ... Lana pingsan!
★∞★
Di rumah Jansen
Loly mengusap air mata di pipinya. Dia terus menangis semenjak pulang sekolah karena mendapati sang ibu yang jatuh sakit lagi. Bahkan dia belum mengganti pakaian sekolahnya.
"Bibi Raya, Loly sangat takut kalau Ibu sakit-sakitan terus. Neneknya teman Loly ada yang meninggal karena sakit-sakitan. Loly tidak mau kalau Ibu juga begitu, huaaaa...." Loly membenamkan wajahnya di dada Lana.
"Jangan berbicara seperti itu. Sebentar lagi Ibu akan bangun. Ibu hanya kelelahan dan kangen pada ayah. Tapi, Loly harus janji akan menjaga Ibu baik-baik, ya. Apa lagi sebentar lagi Loly akan punya adik."
"Maksud Bibi? Di perut Ibu sudah ada adik bayinya?" Loly mengangkat wajahnya dan menghapus air matanya.
"Benar, maka dari itu Loly tidak boleh menangis lagi. Nanti Ibu juga akan sedih kalau melihat Loly menangis." Loly tersenyum lebar.
"Loly sangat senang. Loly juga sayang sekali pada Ibu. Bibi, tolong teleponkan Ayah. Suruh Ayah pulang. Bibi tadi mengatakan kalau Ibu kangen." Wajah Loly berubah jadi cerah.
"Iya, tapi jangan diberitahu dulu pada Ayah, ya. Biarkan saja Ibu Loly yang memberitahu. Kejutan untuk Ayah." Loly mengangguk dengan cepat.
"Sudah sana, ganti bajunya dulu. Terus nanti Loly makan siang, ya."
"Iya. Aduh, Loly sudah tidak sabar punya adik. Loly akan menjaga Ibu dengan baik. Kalau Ayah memarahi Ibu, Loly akan memarahi Ayah. Loly akan memukul Ayah nanti!" Raya tersenyum lebar, dia merasa gemas pada Loly yang begitu bijak.
"Ng...." Loly dan Raya mengalihkan perhatian mereka pada Lana.
"Horeee, Ibu sudah bangun!" Langsung saja gadis kecil itu memeluk Lana.
"Loly belum ganti baju?" Lana melirik jam, sudah hampir jam satu siang.
"Hehe, sebentar lagi Loly ganti baju, Bu. Kangen Ibu...." Lana mengelus kepala Loly.
"Bu, apa Loly boleh memegang perut Ibu? Aduh, Loly sudah tidak sabar adiknya keluar."
"Aku keluar dulu," ucap Raya dan dia keluar dari kamar Jansen dan Lana. Dia akan pergi ke rumah sakit untuk membayar biaya rumah sakit adiknya.
"Hati-hati...." ucap Lana dengan pelan meski Raya sudah menghilang dari kamar.
Lana duduk begitu juga dengan Loly. "Loly boleh mengelus perut Ibu?" Lana mengangguk sambil tersenyum lebar.
Loly sangat senang. Pasti Jansen juga nanti sangat senang.
Lana sudah tidak sabar lagi menunggu Jansen pulang.
★∞★
Vote dan komen kalau suka! Tinggalkan cerita ini lalau nggak suka!
Terima kasih!
31 Agustus 2017
Ig: Naomiocta29
KAMU SEDANG MEMBACA
I Will Still Love You
RomanceLoly tidak punya ibu, tapi Loly sering menanyakan pada ayahnya di mana ibunya, tapi kadang ayah membentak Loly karena menanyakan ibunya terus. Karena Loly belum pernah melihat ibunya, Loly ingin punya ibu seperti teman-temannya di TK. Loly terus men...