Diamond melangkah dengan cepat masuk ke rumah Jansen. Dia baru saja pulang dari kafetaria—menemui Dania.
Dengan langkah yang tergesa, dia mencari keberadaan Jansen."Jansen!" panggilnya dengan suara yang bergetar.
"Iya, Bu? Ada apa?" tanya Jansen yang keluar dari kamarnya.
"Aku perlu berbicara denganmu." Jansen mengangguk dan mengikuti langkah Diamond menuju ruang tengah. Mereka duduk berseberangan di sofa berwarna silver di ruangan itu.
"Jansen, sebaiknya kau memasang CCTV di teras dan di luar gerbang. Kalau perlu pasang di seluruh sudut rumah ini. Di dalam maupun di luar. Demi keamanan kalian, termasuk Lana."
"Iya, Bu. Lalu kenapa dengan wajah Ibu? Kenapa seperti memikirkan sesuatu yang berat?"
Diamond menggeleng, dia tersenyum tipis. "Aku hanya kelelahan. Ya, kelelahan." Jawabnya asal.
Tangan Diamond keduanya saling meremas. Hatinya penuh kebimbangan untuk menceritakan apa yang Dania beritahu padanya.
Ini urusanku. Sepertinya Jansen tidak perlu tahu.
"Tadi Ibu dari mana?" suara lembut milik Lana menggelitik di telinga Diamond. Terlintas dipikirannya kalau Jansen berhak tahu karena dia adalah suami dari putrinya. Lana duduk di sebelah Diamond.
"Tadi aku menemui seseorang, Nak." Lana mengangguk. Diamond menyentuh tangan Lana, dia tak ingin Lana tahu masalah apapun yang terjadi di masa lalu. Diamond sangat yakin kalau itu akan membebani pikiran Lana.
"Lana, bisakah Ibu dan Jansen berbicara berdua saja?" tanya Diamond hati-hati yang langsung diberi anggukan oleh Lana. Lana berdiri lalu dia kembali ke kamar.
"Apa yang ingin Ibu bicarakan?"
"Tadi aku menemui Dania dan dia memberitahu sesuatu hal yang membuatku mati penasaran." Diamond menelan ludahnya pelan.
"Apa yang terjadi di antara kalian, Bu?" Diamond menatap Jansen tidak yakin.
"Sepertinya Dania punya alasan kenapa dia membunuh keluargaku dan juga keluargamu, Jansen. Soalnya, tadi dia mengatakan kalau almarhum suamiku mempunyai rahasia besar. Itu artinya rahasia itu disembunyikan dariku. Jansen, apa kau mau membantuku?" Diamond mengembuskan napasnya pelan.
"Maksudnya, wanita itu—Dania membunuh suami Ibu dan keluargaku karena jengkel atau ingin menyelamatkan kita?" Diamond mengangkat bahunya pelan. Dia juga tidak tahu menahu soal itu. Dulu, saat setelah Dania selesai membunuh dengan bantuan orang suruhannya, dia menyerahkan diri dengan suka rela ke polisi. Dia juga tidak mengatakan apa pun, bahkan tak memberitahu apa alasannya membunuh anggota keluarganya.
"Aku harus mencari tahu semuanya! Aku tidak akan bisa tenang kalau belum terkuak kebenarannya!" Diamond bangkit berdiri, dia melangkah mondar-mandir. "Kalau benar seperti itu, berarti Dania memberi petunjuk bagi kita untuk mencari tahu rahasia yang sudah di simpan sejak lama." Jansen mengangguk saja. Karena jujur saja, dia sangat pusing memikirkan masalah-masalah yang melanda keluarganya.
"Oke, nanti kita selesaikan satu per satu, Bu." Diamond mengangguk, lalu dia pergi dari ruang tengah. Dia melangkah menuju kamar Lyan, ingin berbicara pada wanita itu.
★∞★
Pukul tujuh pagi
Di rumah Jansen"Bu, bangun...." Loly menarik tangan Lana sampai Lana bangun.
"Bu, antar Loly ke sekolah, ya. Soalnya Ayah dan Oma tidak ada di rumah. Bibi mengatakan kalau mereka sedang melakukan sesuatu hal, jadi hanya Loly dan Ibu saja di rumah. Dan di luar banyak orang, Bu. Loly jadi takut keluar, tapi Loly harus ke sekolah." Lana mengucek matanya, kesadarannya belum sepenuhnya pulih sehingga ucapan Loly tadi hanya sedikit saja yang dia tangkap.
Ya, saat masih dini hari tadi, Jansen dan Diamond pergi mencari Dania. Mereka membutuhkan sedikit info lagi dari wanita itu untuk menyelesaikan masalah.
Loly menarik selimut Lana sambil tertawa pelan. "Bangun, Bu. Loly harus sekolah!" jeritnya membuat Lana membuka matanya lebar-lebar.
"Iya, Loly. Sebentar, aku mandi dulu." Lana mengelus perutnya sambil turun dari tempat tidur. Dia melangkah menuju kamar mandi, sementara Loly mengekorinya dari belakang.
Loly membuka mulutnya saat melihat perut Lana yang sudah membuncit. Dia merasa takjub dan juga senang.
"Loly di situ saja, ya. Aku hanya sebentar," ucap Lana yang hanya diberi anggukan oleh Loly.
Setelah menunggu beberapa saat, Lana selesai. Dia kini sedang bersiap-siap mengantar Loly. Dan saat sudah selesai, dia menatap Loly jenaka.
"Ayo kita pergi." Lana begitu semangat sama seperti Loly, seakan tidak tahu kalau di luar sangat berbahaya untuk mereka berdua.
"Ibu tidak sarapan? Tidak minum susu?" Lana menggeleng.
"Nanti saja." Loly mengangguk. Mereka berdua melangkah keluar rumah sambil bergandengan, sampai beberapa orang berseragam serba hitam menghentikan langkah mereka.
"Untuk sementara Nyonya tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa Tuan Jansen." Lana menaikkan alisnya sebelah.
"Siapa yang kau panggil Nyonya, hmm? Namaku Lana. Panggil Lana saja, oke?" penjaga itu hanya menggeleng.
"Tapi, Om... Loly harus ke sekolah." Loly mengerucutkan bibirnya.
"Benar, Loly harus ke sekolah. Lagi pula sekolah Loly tidak jauh."
"Tapi putri Anda sudah mendapat surat izin dari sekolah, Nyonya." Lana menggerutu dalam hati.
Dia mengabaikan penjaga itu. Dia malah menarik tangan Loly dan membawanya menuju gerbang.
"Loly, bagaimana ini? Gerbangnya di gembok."
"Lewat pintu belakang saja, Bu." Lana menggeleng. "Kalau di sini di gembok, di sana juga pasti di gembok." Lana tersenyum miring.
"Ya sudah, Loly tidak perlu ke sekolah hari ini. Besok saja saat Ayah sudah pulang. Oke?" Loly mengangguk, karena dia sangat patuh pada Lana.
Akhirnya mereka masuk ke dalam rumah. Loly berlari ke kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya.
Sementara itu, Lana melangkah menuju dapur. Dia membuka kulkas, mencari sesuatu yang sangat ingin dia makan, jambu air. Tapi tidak ada.
Lana menggigit bibirnya pelan, entah kenapa tiba-tiba dia ingin memakan jambu air, padahal masih pagi dan lagi dia belum sarapan.
"Ibu mencari apa?" Lana terkejut mendengar Loly. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan melihat Loly sudah ganti baju. Loly memakai baju barbienya berwarna biru.
"Jambu air, Ly."
"Ibu sangat ingin buah itu, ya? Bagaimana kalau kita ajak bibi membelinya, Bu?" Loly memeluk paha Lana.
"Tidak, kita saja yang pergi," ucap Lana. Dia berlari pelan ke kamar untuk mengambil uangnya tanpa membawa telepon genggamnya.
Lalu dia kembali ke dapur."Loly tahu kita lewat mana?" Loly mengangguk.
"Apa adik bayinya yang minta, Bu?"
"Aku tidak tahu, Ly." Lana tersenyum dan mereka melangkah menuju belakang rumah yang memiliki beberapa pintu. Loly berlari dan tertawa saat ada salah satu pintu gerbang tidak digembok dengan benar.
"Bu, sini!" Lana mengangguk dan mereka keluar dari rumah tanpa sepengetahuan siapa pun. Meski ada CCTV, tapi Jansen dan penjaga keamanan rumahnga telah lalai!
★∞★
KAMU SEDANG MEMBACA
I Will Still Love You
RomanceLoly tidak punya ibu, tapi Loly sering menanyakan pada ayahnya di mana ibunya, tapi kadang ayah membentak Loly karena menanyakan ibunya terus. Karena Loly belum pernah melihat ibunya, Loly ingin punya ibu seperti teman-temannya di TK. Loly terus men...