Lana membuka matanya yang terasa sangat berat. Dia masih mengantuk karena tadi malam tidak bisa tidur karena memikirkan Jansen terus.
Lana duduk dan menatap sekelilingnya, dia ada di kamar Jansen. Seingatnya, tadi malam dia tidur di kamar Loly.
"Astaga! Kenapa aku jadi ada di sini? Aku harus segera pergi sebelum Jansen tahu! Aku pasti tidur sambil berjalan tadi malam!" Lana membuka selimut dan turun dari tempat tidur.
Dia membeku saat melihat Jansen yang tidur di sofa. Lana berdiri, dia menarik selimut. Mendekati Jansen yang tidur meringkuk. Lana memerhatikan Jansen dengan hati yang berbunga-bunga. Rasanya, dia sangat ingin memeluk Jansen dengan erat.
Lana mengerutkan keningnya saat melihat jari manis Jansen sebelah kanan. Dia menyelimuti Jansen dan duduk di lantai. Diraihnya jemari itu dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Jansen.
"Maaf, tapi aku harus membuangnya! Karena aku tidak suka melihatnya," bisik Lana menyentuh cincin di jari itu. Tapi, bukannya melepaskan cincinnya, Lana malah memiringkan wajahnya di sofa. Dia meletakkan telapak tangan Jansen yang hangat ke pipinya.
Dia memejamkan matanya, napas mereka saling beradu. Lana tersenyum, seperti itu saja dia sudah senang. Beberapa saat seperti itu, Lana akhirnya tertidur lagi.
Tepat saat tidak ada pergerakan lagi dari Lana, Jansen membuka matanya. Wajahnya sangat dengan wajah Lana. Pertama kali dalam hidupnya, saat dia bangun ... yang pertama dia lihat adalah wajah seorang wanita. Ya, Lana orangnya.
Jansen mengerutkan keningnya melihat wajah lelah Lana.
"Anak ini masih saja kelelahan. Wajahnya juga masih pucat." Jansen menarik tangannya pelan, dia duduk, dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Dia berdiri dan membungkukkan badannya. Dengan gerakan palan juga, dia menggendong Lana, memindahkannya ke tempat tidur.
"Harusnya tak seperti ini, Lana...." bisik Jansen, dia mengelus kepala Lana dan mengecup kening Lana. Tersadar dengan apa yang dia lakukan, Jansen langsung berdiri tegak. Dia bergegas pergi ke kamar mandi.
★∞★
"Ayah...." Loly menyentuh paha Jansen yang duduk di sofa ruang tengah. Saat tak ada respons dari Jansen, Loly merangkak naik dan duduk di pangkuan sang ayah.
"Ayah!" jeritnya di depan wajah Jansen.
"Ah, apa Lyly?"
"Ayah melamun?" Jansen hanya tersenyum tipis.
"Kapan Ayah pulang? Kenapa tidak bilang?" Jansen mengelus rambut Loly.
"Iya, pekerjaan Ayah selesai lebih cepat, jadi pulangnya tadi malam." Loly mengangguk.
"Apa Ibu masih tidur, Yah? Ibu kangen sekali pada Ayah." Loly menggembungkan pipinya, siap memarahi ayahnya.
"Ah, iya. Masih tidur. Kenapa Loly cemberut, hmm?" Jansen memeluk Loly.
"Ayah selalu memeluk Loly, tapi Ibu tidak Ayah peluk. Ayah curang!" Jansen menahan tawanya.
"Iya, nanti Ayah akan peluk." "Benarkah?" Jansen mengangguk.
"Ayah, Loly sudah tidak sabar lagi punya adik. Ayah senang tidak kalau Loly nanti punya adik?" Jansen terdiam, dia melepas pelukannya.
"Maksud Lyly apa, Nak?" Loly mengangkat bahunya. "Loly hanya bertanya, Ayah."
"Oh, tentu saja Ayah akan senang. Hehe...." Loly mengerucutkan bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Will Still Love You
RomanceLoly tidak punya ibu, tapi Loly sering menanyakan pada ayahnya di mana ibunya, tapi kadang ayah membentak Loly karena menanyakan ibunya terus. Karena Loly belum pernah melihat ibunya, Loly ingin punya ibu seperti teman-temannya di TK. Loly terus men...