"Jansen, kau sayang dan cinta padaku?" Jansen tertegun. Pelukannya melonggar membuat Lana tersenyum kecut.
Lana melepaskan diri dari Jansen. Dia menggelengkan kepalanya saat tidak ada juga jawaban dari pria di depannya.
"Aku mengerti." Lana menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. Dia membalikkan tubuhnya. Melangkah beberapa langkah, dia berhenti.
"Aku benci padamu!" jeritnya kuat membuat Jansen tersadar kembali. Dia menatap Lana yang melenggang pergi. Jansen mengusap keningnya.
"Aku tidak bisa, Lana. Maafkan aku...." Jansen menatap sekeliling kamar, dia melangkah menyusul Lana.
"Lana...." desah Jansen saat menemukan Lana berdiri di luar kamar. Lana mengusap air matanya, lalu menendang kaki Jansen.
"Sakit, Lana...."
"Lebih sakit hatiku, Jansen! Pokoknya aku tidak mau lagi tinggal di sini. Nanti akan kutelepon ibuku agar cepat pulang dan menjemputku!" teriak Lana di depan Jansen.
"Lana, kau harus makan. Lalu tidur, ya. Ini bukan waktunya kita ribut. Oke?" Jansen menyentuh bahu Lana yang langsung ditepis Lana.
"Jangan pegang-pegang. Aku tidak sudi," katanya dengan angkuh. Jansen tersenyum membuat Lana semakin kesal.
"Lana, jujur saja aku bukanlah orang yang romantis. Tapi aku janji akan menjagamu dan anak-anak kita nantinya."
"Pembohong! Kau memang pembohong!" Lana berkacak pinggang membuat Jansen gemas.
"Ayo ke dapur. Kau laparkan?" Lana mengangguk. Dia tidak menolak saat Jansen menarik tangannya.
"Aku ingin makan mie goreng pakai sayur." Jansen mengangguk. Dia menatap Lana dan tersenyum membuat Lana meluluh. Memang benar, wanita itu lemah dibandingkan laki-laki soal perasaan.
Saat sudah di dapur, Jansen mendekati kulkas khusus sayuran dan juga bahan makanan mentah. Dia mengeluarkan sawi manis dan mie kuning. Sementara Lana mengekori Jansen dari belakang.
Lana terus menatap gerak-gerik Jansen. Dia juga ingin tahu bagaimana caranya memasak. Saat Jansen sudah selesai mengiris sayur dan mencucinya sampai bersih, Lana berubah pikiran.
"Jansen, ternyata aku ingin makan nasi goreng saja. Tapi tidak pakai sayur dan kecap." Jansen hanya tersenyum.
"Memangnya kau tahu memasak?" tanya Lana menyentuh lengan Jansen yang kini mengambil nasi. Sentuhan lembut itu ternyata membuat Jansen berdesir.
"Ya, dulu saat orangtuaku masih hidup, aku sering memasak. Aku sering memasak untuk mereka. Lalu sekarang, sepertinya aku akan kembali memasak untukmu. Karena kau spesial." Lana mengerutkan bibirnya.
"Maaf Jansen, aku tidak bisa seperti ini terus. Aku butuh kepastian." Lana menundukkan kepalanya.
"Lana, untuk sekarang aku belum bisa menjawab pertanyaanmu tadi. Tidak tahu kalau besok dan besoknya lagi." Jansen menepuk kepala Lana, lalu dia mulai memasak dengan serius. Tidak ingin membuang waktu terlalu lama agar Lana bisa makan dan tidur lagi.
"Apa karena aku tidak cantik?" Jansen tersenyum tipis. Dia diam saja, membiarkan Lana bersungut-sungut sendiri di sampingnya.
"Padahal kalau menurutku, aku ini lumayan cantik, kok. Kulitku juga lumayan putih, meski banyak bekas. Rambutku juga lumayan cantik. Wangi juga." Jansen semakin tersenyum lebar. Kalau diingat lagi, dia sudah lama tidak tersenyum lebar.
"Jansen, tidak kusangka kau menjadi tuli begini." Lana berpura-pura sedih, dia memberanikan diri memeluk Jansen dari belakang membuat jantung Jansen berdegup lebih cepat.
"Lana, aku sedang memasak...." Lana mengangguk. Dia melepaskan pelukannya, beralih memeluk lengan suaminya.
"Lana...." Lana hanya tersenyum.
★∞★
"Terima kasih," bisik Jansen tepat di telinga Lana. Lana sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu setelah dia selesai makan.
Hal yang baru Jansen ketahui, meski Lana dulu tinggal di hutan belasan tahun, tapi ternyata Lana pintar. Bahkan saat makan saja Lana begitu anggun. Itu menurut Jansen.
"Aku belum yakin dengan perasaanku, Lana. Aku tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan seperti dulu lagi. Aku ingin mengatakan perasaanku kalau aku sudah benar-benar yakin, agar kau nantinya tidak terluka." Jansen mengelus rambut Lana.
"Hah, kau rewel sekali malam ini. Aku sampai kewalahan." Jansen tersenyum, dia seperti mengurus anak kecil yang banyak maunya. Kalau tidak dituruti, maka akan merajuk, atau menangis.
Jansen membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya ke wajah Lana sehingga jarak wajah mereka hanya berjarak beberapa senti meter saja. Namun Jansen menjauhkan wajahnya.
"Aku berpikir apa yang kau rasakan padaku itu cinta atau obsesi, Lana. Atau hanya sekedar rasa kagum? Aku tidak tahu. Karena sejak awal, kau terlihat sangat obsesi padaku. Apa kau sudah mengerti dengan apa yang kau rasakan?" Jansen mengelus pipi Lana. Dia meraih tangan Lana, lalu mengecup punggung tangan istrinya itu.
"Tapi, entah kenapa aku menjadi berharap banyak padamu. Aku janji akan menjagamu, melindungimu semampuku. Aku tahu kalau aku ini kekanakan, Lana. Ingin bercerai, tapi seperti tak rela berpisah. Tapi sekarang aku tak ingin bercerai. Entah apa yang membuat diri ini mempertahankanmu. Ya, aku benar-benar tak rela." Jansen kembali mengecup punggung tangan Lana.
Sempat terlintas dipikirannya kalau itu karena Lana yang sedang mengandung. Tapi, dia tidak bisa memungkiri kalau Lana punya cara sendiri membuatnya senang.
"Kita lihat kedepannya bagaimana ya, Lana. Semoga hal baik terjadi pada kita. Semoga kau tidak pergi dari rumah ini." Jansen mengembuskan napasnya pelan. Jantungnya semakin berdebar. Dia sama sekali tidak bisa tidur. Entah kenapa dia lebih suka menatap Lana dari pada tidur.
Jansen mengambil telepon genggamnya dari atas nakas. Dia memutuskan untuk mencari hal mengenai ibu hamil. Apa saja yang akan dialami saat hamil muda seperti Lana. Pantangan apa yang harus dihindari agar tidak mempengaruhi kandungan.
Dulu dia memang merawat Andrea, tapi tidak memberikan perhatian pada Andrea. Dia juga tidak pernah mencari tahu tentang ibu hamil di internet.
"Oh, emosi juga naik-turun," ucap Jansen dengan pelan. Dia melirik Lana yang merubah posisi tidurnya menyamping. Jansen tersenyum dan mengelus kembali pipi Lana dengan gemas.
★∞★
Semoga suka!
Vote dan komen kalau suka :) Tinggalkan cerita ini kalau nggak suka (:
Terima kasih!
19 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
I Will Still Love You
RomanceLoly tidak punya ibu, tapi Loly sering menanyakan pada ayahnya di mana ibunya, tapi kadang ayah membentak Loly karena menanyakan ibunya terus. Karena Loly belum pernah melihat ibunya, Loly ingin punya ibu seperti teman-temannya di TK. Loly terus men...