Farel menatap pacarnya yang masih memijit dahi dengan kedua kepalanya. Entah kenapa, melihat gadis itu terlihat stres malah menyenangkan. Mungkin karena ia tahu obat stres Strestha hanya dirinya, makanya dia seperti memenangkan permainan di kondisi ini.
"Masih jelek juga?" Tanya Farel.
Strestha cemberut. "Lihat aja"
Farel meraih kumpulan kertas yang dijilid rapi dengan sampul oranye itu dan membacanya sekilas dalam enam menit. Berpacaran dengan Strestha sejak SMA membuatnya sangat tahu selera dan standar Strestha pada seni sastra. Dengan mudah ia menilai draft penulis freelance yang baru dikirimkan itu jelek. "Penokohan terlalu ngawang"
"That's it! Dan dia gak pake hati"
Farel tersenyum. "Jangan sotau loh sama hati seseorang"
"Rel, aku bisa bedain mana penulis yang pake hati, dan engga" Strestha menatap Farel kesal. Lagi-lagi farel hanya tertawa melihat tingkah emosian pacarnya itu.
"Aku udah cape sama penulis yang cuma pengen terkenal tapi bahkan terlalu ngarang sama ceritanya. Enggak pake hati" oceh Strestha. "Maksudnya, gimana pembaca bisa ngerasain ceritanya pake hati kalau bahkan penulisnya gak pake hati?"
"Ini antara kamu yang perfeksionis, atau stok penulis bagus udah habis diambil penerbit yang menjanjikan?" Tanggap Farel, kemudian duduk di kursi depan Strestha.
"I don't know. Aku harap cepet ketemu penulis dengan standarku itu. Aku gak mau first impression buat Kala Creative jadi alay, murah dan sebagainya"
Farel mengangguk seraya meraih tangan Strestha. "Sabar. Good things take time"
Strestha tersenyum, dan cepat-cepat menarik tangannya karena ia menangkap sosok laki-laki asing yang memakai celemek barista datang ke mejanya. Tentu saja malu!
Kali ini Strestha duduk di coffee shop milik Farel yang menenangkan. Sementara Barista itu tersenyum tipis; cenderung dingin seraya menyajikan kopi yang dipesan Strestha.
"Heh! Gaboleh jutek gitu sama ibu direktur" Farel berdiri dan menyenggol barista itu. Strestha agak kaget sepersedetik sebelum barista itu tertawa dan berkata "Oh, ini strestha? Hai Mbak"
Strestha tersenyum kikuk, pada akhirnya Farrel memperkenalkan barista itu seraya merangkul pundaknya. "Ini barista baru, dulu rekan kerjaku di konsultan acara ituloh, kamu pernah ketemu tau"
Strestha masih bingung, karena sejujurnya dia lupa pernah bertemu barista itu. Pada akhirnya barista itu tersenyum dan menjulurkan tangannya. "Radian"
Strestha akhirnya menyambut saja dengan ramah. "Oh, halo Radian. Strestha"
***
Jalanan kota Jakarta malam itu terlihat lengang. Mungkin salah satu alasannya adalah, ada beberapa orang yang memilih tidak menggunakan kendaraan pribadi dan berjalan dari satu stasiun busway ke stasiun lainnya seperti Vano dan Lena.
Tadi, Vano meminta pulang bersama Lena, namun tidak bawa kendaraan. Agak sedikit aneh dengan hal tersebut, Lena menolak untuk pulang bersama tadi sore. Namun, Vano janji akan membelikan cilor atau cilok telor di sekolah dasar yang ia tahu lebih mudah dicari jika berjalan kaki. Tentu saja, Lena sangat tertarik!
Itulah Vano, bisa membuat ide terburuk kadang menjadi menyenangkan. Kali ini mereka sedang duduk di halte Busway terakhir yang harus mereka naiki untuk sampai ke rumah mereka, dengan keresek penuh keripik pedas, kue cubit, dan cilok yang belum mereka sempat santap.
"Huaaa ini keliatan enak banget, tapi perut gue...." oceh Lena seraya mengusap-ngusap perutnya sementara matanya melongok ke dalam keresek. Vano tertawa. "Sini gue bawain"
Lena mengangguk, dan berdiri seraya berlari ditempat. "Lemak! Lemak! Lemak!"
Vano memandangi Lena yang mencoba berolahraga ㅡdi halte buswayㅡ sambil tertawa-tawa. Dia menghampiri Lena, dan ikut lari ditempat. Vano menyanyikan lagu poco-poco, dan Lena menyuarakan hitungan 1 sampai 8 ala olahraga. Saat itu, halte Busway yang kosong hanya diisi oleh tawa mereka berdua, bahagia satu sama lain. Suara klakson terdengar memecah tawa mereka, dan Lena segera berjalan mendekat ke pintu. "Ayo siap-siap!"
Pintu terbuka dan angin dari luar menyapu wajah Lena; membuat rambutnya yang terikat asal itu terurai karena ikatannya tidak kuat; membuat Vano terkesima beberapa saat. Tawa Lena, tawa mereka berdua, candaan mereka berdua, bibir lena, dan tatapan Lena dengan mata menyipit karena gadis itu, lagi-lagi, tersenyum kearahnya ㅡmembuat hatinya terbang, dan hangat.
Busway berhenti perlahan di depan mereka. Pintu busway terasa terbuka dalam gerakan slow motion di dunia Vano. Tatapannya masih terpaku pada figur Aileena yang disinari cahaya lampu Busway yang mungkin, ia tidak akan pernah lupakan, karna gadis itu.... begitu nyata, begitu hidup ㅡbegitu bahagianya. Apakah karenanya?
Apakah jika di detik ini ia bisa membuat gadis itu bahagia, itu berlaku untuk selamanya?
Selama ia bisa?
Satu persatu orang yang berhenti di halte itu keluar, dan kali ini, tinggal Vano dan Aileena penumpang yang perlu masuk ke dalam Busway yang menunggu.
"Ayo, No" Lena melangkahkan kakinya, namun kemudian langkah Lena terhenti.
Bukan karena suatu hal aneh pun; hanya genggaman tangan Vano yang meraih tangannya, tiba-tiba, dan erat.
Aileena menoleh, bingung. Dilihatnya Vano menatapnya tajam, tanpa ragu.
"Jadi pacar gue, yuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Aileena (COMPLETED)
Romance"Aku udah lama gak kesini" suara Radian itu membuyarkan lamunan Lena. "Aku sebenernya gak suka tempat ini" Lena mengernyitkan alis. Mencari arti dari kalimat-kalimat Radian yang ia tidak mengerti. "Tapi karna aku tau kamu bakal suka tempat ini..." R...