"Dah, Len"
Sosok laki-laki itu tersenyum dari balik kaca helm yang terpasang dikepalanya. Lena tersenyum kaku sementara perlahan bapak ojek membawa sosok Vano yang terbonceng di jok belakang motor menjauh.
Angin malam menerpa wajah Lena yang masih berdiri kaku di posisinya. Matanya menerawang jauh, mengikuti sosok Vano yang kali ini ia tak bisa ia lihat lagi.
Jadi pacar gue yuk?
Lena refleks menelan ludahnya, lalu menarik nafas panjang. Ditatapnya langit hitam tak berbintang itu. Harus kah ia senang?
Ingatannya kembali ke saat-saat ia bersama Vano. Ya, keseruan diantara mereka selalu membuat hati Lena hangat. Tawa dan canda Vano tidak pernah membuat Lena ingat ia pernah sakit hati. Lena bisa nyaman dengan semua sikap Vano, yang ramah dan fleksibel, tidak pernah menuntut apapun. Seolah-olah Vano memang hadir di hidup Lena untuk membahagiakannya tanpa kecuali.
Gadis itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak, masih berdiri di tempat yang sama. Mencari jawaban dari semua ini. Mencari alasan mengapa bukan rasa senang yang ia rasakan saat ini. Jika ia ingat-ingat lagi, memang ada yang berubah atas kedekatannya dengan Vano selama ini. Lena kali ini selalu memilih Vano daripada teman-temannya. Nenek selalu bertanya apakah Vano pacarnya atau bukan. Vano selalu mengingatkannya makan dan rela mengantarjemput Lena ke toko buku, ke puncak, ke manapun, asal Lena senang ㅡ itu yang selalu Vano bilang.
Vano baik... Vano menyenangkan. Harusnya ia pun tak usah berfikir lagi, bukan?
"Nak... sudah pulang?" Suara neneknya yang hadir dari balik pintu rumah yang terbuka menyadarkan Lena dari lamunannya. Dirinya menoleh dan mengernyit menatap neneknya masih segar, tak kelihatan ngantuk sedikitpun.
"Nek? Kok belum tidur? Nungguin Lena ya? Maaf lama...." dirinya segera menghampiri neneknya untuk salam. Mereka pun segera masuk, sementara Nenek langsung menutup pintu.
"Tadi nonton sinetron baru... rame. Terus habis solat isya temenmu kesini, nenek keburu gak ngantuk" kata Nenek. Membuat Lena mengernyitkan alis.
"Siapa? Danya?"
"Yang cowo itu... yang dulu suka nganter kamu, saacan si Vano. Tapi langsung pergi lagi budak teh... teu sopan"
Lena mematung.
"Radian?" Ia bisa mendengar suara yang keluar dari mulutnya begitu pelan dan lirih, menyadarkannya bahwa jantungnya pun kali ini berdegup kencang.
Nenek menjawab dengan cuek. "Ohiya, budak eta"
Lena menggigit bibirnya. Dalam satu detik, kali ini dia tau alasan dirinya tak senang. Ia tau alasan dirinya tetap merasa kosong dan sepi, bahkan saat mengetahui ada laki-laki yang menyukainya seperti Vano. Radian. Ia tahu arti dari rasa sakit yang menghampiri setiap ia tertawa bersama Vano. Ia tahu alasan ia takut masuk ke Yellow Doors, atau merasa sakit melihat puisi buramnya untuk Radian.
"Lena! Mau kemana deui kamu teh?!"
"Kunci aja, Nek" lengos Lena seusai memakai sepatunya, dan langkahnya kali ini tak tertahan lagi.
***
Radian membuang rokok itu seraya meniupkan hembusan terakhir dari mulutnya. Sepiring nasi goreng hadir disuguhkan didepan matanya dan ia tersenyum kepada sang penjual yang dengan semangat langsung memberikan segelas teh hangat untuk teman makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Aileena (COMPLETED)
Romance"Aku udah lama gak kesini" suara Radian itu membuyarkan lamunan Lena. "Aku sebenernya gak suka tempat ini" Lena mengernyitkan alis. Mencari arti dari kalimat-kalimat Radian yang ia tidak mengerti. "Tapi karna aku tau kamu bakal suka tempat ini..." R...