Kesempatan

134 4 0
                                    


"Makasih."

Senyum gadis itu hadir di balik bingkai matanya yang terlihat bengkak. Wajah gadis itu kini terlihat pucat; dengan bedak ataupun perona pipi yang sudah luntur terhapus air mata.

"Masuk, gih" ujar Radian, perlahan. Bukan karena ia tidak ingin lagi bercakap dengan sosok yang sangat dirindukannya itu. Tapi, jujur ia lelah. Dengan hari ini. Pekerjaan yang padat ditambah melihat Aileena seperti itu. Hal yang baru terjadi itu cukup membuat adrenalinnya meningkat, merasa takut, merasa bersalah, ditambah lagi berusaha dengan keras menahan perasaannya.

Dilihatnya Aileena tersenyum saja, tapi tidak beranjak dari tempat ia berdiri. Radian menatap Aileena, dalam dan jauh. Mencoba mencari makna dari tatapan gadis itu, yang secara mudah ia artikan.

"Kangen aku sama kamu, Len" kalimat yang secara lantang Radian ucapkan itu, terasa seperti rahasia yang telah lama dipendamnya rapat-rapat. Yang membuat Radian lega dan lepas saat mengucapkannya. Yang membuat hatinya lagi-lagi jatuh, terhempas ke dunia yang seharusnya tidak Radian pijaki. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain hangat yang menyeruak, disambut dengan senyum Aileena, yang membuat perutnya tak karuan.

Apakah ia telah jatuh hati pada Aileena?
Apakah boleh?

Mata gadis itu sedikit berkaca-kaca. Namun, ia tertawa.

Apakah gadis itu menyukainya.... sedalam itu?
Dan apakah dia juga merasakan hal yang sama?

Kelingking kecil putih menghalangi wajah mungil Aileena dari tatapan Radian.

"Janji bakal cerita, ya?"

Hati Radian terasa perih mendengar tawa gugup gadis itu. Ya, aneh memang, disini terlihat hanya Aileena lah yang merasa sakit. Tapi tidak pada nyatanya.

Melihat Aileena berusaha tertawa di atas ketakutannya itu, rasanya sakit.
Melihat Aileena menangis seperti sebelumnya, rasanya sakit.
Melihat Aileena bersama laki-laki lain, rasanya sakit.
Mendengar nama itu saja dari Ara, rasanya sakit.

Setiap hari saat melihat cangkir kopi Latte, ia rindu. Parfum orang-orang yang tak sengaja ia cium, tidak ada yang mempunyai wangi vanilla orange itu. Ia hancur perlahan setiap malam saat ia tahu hidupnya dan Lena sekarang hampir berbeda. Ia hancur perlahan setiap malam saat mengetahui kemungkinan Lena akan meninggalkannya.

Sebab seorang Radian, yang keras kepala, sang penikmat masa lalu, telah sadar, bahwa hanya Aileena yang bisa menenangkannya. Hanya Aileena yang ia butuhkan. Hanya Aileena.

Hatinya sakit memikirkan itu semua. Bahwa memang hatinya tidak pernah ingin meninggalkan Aileena malam itu. Bahwa ia ingin sekali kembali dan memeluk Aileena; agar gadis itu tak menangis. Namun ia terlambat.

Gadis itu telah menangis terlalu banyak. Telah sakit terlalu banyak.

Apa ia tetap bisa masuk ke dalam hidup Aileena dengan seperti itu?

"Aku gak mau kamu nangis lagi, Aileena" suara serak itu muncul dari mulut Radian.

Jangan buat aku janji, Len...

Gadis itu menggeleng manja. Namun kalimat selanjutnya ia ucapkan dengan suara serak. "Janji dulu. Biar aku gak nangis"

Radian dengan berat, mengangkat jari kelingkingnya, dan mengaitkannya di kelingking Lena.

Ia menutup matanya perlahan.

Janji..

***

Dear My Aileena (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang