04 - Pamit

889 105 13
                                    

Davi terbangun dari tidur lelapnya karena dering ponsel yang tak kunjung reda. Cowok tampan itu menggerakkan tangannya meraih ponsel yang ada di atas meja kecil di samping ranjang, tanpa membuka mata. Bahkan untuk mengangkat panggilan tersebut, matanya masih terpejam. Masih sangat mengantuk.

"Halo?"

"Udah bangun, Dav? Hari ini kita ada meeting untuk proyek film baru kamu yang syutingnya diadain di London. Ingat, kan?" Suara sang manajer langsung terdengar di telinga Davi.

Perlahan namun pasti, Davi membuka mata. Dia melirik jam yang tergantung di dinding kamar, menunjukkan tepat pukul sembilan pagi. Davi mengusap mata sebelum menjawab, "Iya. Jemput satu jam dari sekarang, ya? Meeting sekalian makan siang, kan?"

"Iya, Dav. Ya, udah. Sampai ketemu satu jam dari sekarang, ya. Ah, ya. Cek email. Hasil foto dari pemotretan majalah yang minggu lalu sudah dikirim, katanya."

"Iya, Kak. Aku post nanti."

Kemudian, panggilan berakhir begitu saja. Davi meletakkan kembali ponsel di atas meja dan mulai merenggangkan otot-otot tubuhnya. Dia diam beberapa saat, mengumpulkan nyawa secara penuh sebelum beranjak dari ranjang. Dia melangkah ke luar dari kamar dan memutar bola mata ketika mendapati Wisnu yang tampak ketiduran tanpa mematikan playstation-nya, di ruang tamu.

Seperti biasa, Davi yang akan mematikan peralatan-peralatan bermain Wisnu dan merapihkannya sebelum memulai aktivitas. Well, Davi dan Wisnu memang tinggal bersama atau lebih tepatnya, Wisnu menumpang tinggal di apartment Davi dan Davi sama sekali tak merasa keberatan. Justru Davi senang karena Wisnu mau tinggal bersamanya.

Wisnu dan Davi itu sudah seperti kakak-beradik. Wisnu seharusnya yang memegang peranan sebagai kakak mengingat usianya yang jauh lebih tua dari Davi, tapi Davi justru lebih bertingkah dewasa dibandingkan Wisnu. Wisnu menghabiskan waktunya untuk bermain games ketika Davi menghabiskan waktunya bekerja untuk mendapatkan uang dengan cara yang jauh lebih nyata dari Wisnu.

Davi kerapkali mengingatkan Wisnu untuk mencari kerja yang jauh lebih nyata dan jelas daripada hanya bermain games, tapi percuma. Wisnu tak mau mendengarkan dan peringatan Davi seperti masuk telinga kanan ke luar telinga kiri saja untuk Wisnu.

Sangat banyak masalah yang Wisnu timbulkan dari aktivitasnya sebagai gamer. Sudah beberapa kali ada orang asing yang berkunjung dan mengancam yang tidak-tidak hanya karena Wisnu mengalahkannya. Pernah juga ada yang datang menagih hutang Wisnu yang kalah dalam sebuah permainan. Davi tak paham mengenai mekanisme mendapatkan uang dalam permainan online, tapi yang dia tahu, Wisnu sudah terlalu sering berhadapan dengan para debt collector hanya karena hal itu dan parahnya, dia tak pernah kapok.

"Dav,"

Davi yang tengah merapihkan joystick bekas bermain Wisnu menghentikan kegiatannya dan menoleh, mendapati Wisnu yang sudah bangun, duduk bersandar pada sofa di belakangnya. Wisnu menguap sambil mengusap mata berulang kali.

"Sibuk gak lo hari ini?" tanya Wisnu.

"Ada meeting buat film baru. Mungkin kelar sore."

Wisnu mengangguk. "Ya, udah. Langsung balik, ya? Gue mau lo bantuin gue nyiapin semua tentang pernikahan gue."

Satu alis Davi terangkat. "Lo udah yakin bakal nikah sama dia?"

Wisnu mengangguk mantap. "Gak usah meragukan keyakinan gue, Dav. Gue udah fix sama Luna dan well, ingat, ya. Lo jangan kelamaan nyusul gue-nya."

Davi terkekeh singkat. "Gue bukan lo, Nu, yang melakukan segala sesuatu tanpa pikir panjang dan menurut gue, pernikahan itu sesuatu yang sakral. Sekali seumur hidup." Davi lanjut menggulung kabel joystick, "Rapihin, nih. Lo udah numpang, hobinya ngeberantakin apartment orang. Gak tahu terima kasih."

BumerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang