Selama ini, Luna belum sekalipun pernah menghubungi Davi terlebih dahulu. Harus selalu Davi yang menghubunginya dan itu juga sangat menyiksa karena Luna harus menunggu. Sejujurnya, saat nama Davi muncul pada layar ponselnya, entah mengirimkan pesan atau menghubunginya, hanya Luna dan Tuhan yang tahu bagaimana perasaan cewek itu.
Luna yang duduk di halte, menundukkan kepala menatap sepatu pantofel hitamnya dengan hampa. Jika boleh jujur, Luna akan mengakui seberapa hampa hatinya dan seberapa kalut pikirannya.
Sadar betul, Luna bukan siapa-siapa untuk seorang Davino Alaric Syahm. Pertemuan mereka tidak sengaja dan itu bukan awal pertemuan yang menyenangkan. Tapi takdir membuat pertemuan itu sebagai awalan kenangan-kenangan lain yang terjadi di antara keduanya. Tak tahu apa Davi akan menyebutnya kenangan, tapi Luna akan menyebutnya kenangan.
Semua tentang Wisnu tak menarik lagi di mata Luna padahal, Wisnu sedang gencar-gencarnya menunjukkan perubahan positif yang selalu Luna harapkan sejak dulu. Wisnu cerdas, hanya butuh waktu beberapa bulan, Luna diberitahu oleh cowok itu jika dia sudah mampu membeli sepeda motor untuknya sendiri. Ditambah lagi, dia benar-benar meninggalkan dunia games-nya dan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi Wisnu yang sangat perhatian.
Tapi salahkah jika Luna mengatakan, perubahan besar Wisnu itu sudah sangat terlambat untuk mengubah siapa penghuni hati Luna saat ini?
Luna juga sadar diri. Rasa sukanya pada Davi, pastilah bertepuk sebelah tangan mengingat seberapa penting dan berharganya seorang Narayana Aneska Yuan untuk Davi. Apalagi Davi menentang keluarga yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya, untuk dapat tetap bertahan dengan Nara. Itu bukan pengorbanan kecil, itu pengorbanan sangat besar meskipun, Luna ingin sekali mendatangi Davi dan menceramahi cowok itu tentang pentingnya keluarga dalam hidupnya.
Andaikan Nara tak pernah hadir, bukankah sama saja? Rasa saling suka Luna dan Davi akan menghancurkan persahabatan Davi dan Wisnu yang sudah terjalin sangat lama. Sama saja seperti menghancurkan tali silaturahmi mereka dan Luna tak mau seperti itu.
Lamunan Luna buyar ketika telinganya menangkap bunyi sebuah klakson bersamaan dengan mobil Marcedez hitam mulus yang berhenti tepat di depannya. Luna menahan napas melihat kaca mobil bagian penumpang terbuka dan menampilkan seseorang yang baru saja dia pikirkan, mengenakan kacamata berlensa hitam yang membuatnya terlihat lebih misterius, tanpa mengurangi pesonanya.
"Lo ngapain di sini?" Davi bertanya, sedikit berteriak supaya Luna mendengarnya. Luna masih bertahan duduk di kursi besi halte yang berjarak sekitar satu setengah meter dari mobil Davi yang dikendarai Roy.
Luna menggeleng. "Gak ngapa-ngapain."
"Udah makan siang belum? Mau temenin gue makan gak?"
Ah, selalu begitu. Davi sepertinya selalu butuh teman makan. Tak pernah ada ajakan lain kepada Luna selain makan dan makan. Tapi itu sudah sangat cukup untuk Luna.
"Woi!"
Davi memanggil keras dan menyadarkan Luna dari lamunannya lagi. Luna menarik senyuman sebelum menggelengkan kepala. "Enggak. Gue udah makan. Lo makan aja sendiri."
Satu alis Davi terangkat. "Yakin?"
Luna mengangguk mantap. "Iya. Lo duluan aja sana."
Setelah itu, Luna menunduk dan menunggu supaya mobil Davi menjauh, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Davi ke luar dari mobil, mengenakan tudung yang ada pada jaketnya lalu, duduk tepat di samping Luna ketika mobilnya dikendarai Roy untuk pergi menjauh. Luna melotot melihat Davi duduk di sampingnya.
"Lo kenapa ikut-ikutan duduk di sini?! Kenapa gak pergi aja sono naik mobil mewah lo?!"
Davi mengedikkan bahu. "Gak apa-apa. Bosen naik mobil mulu. Sekali-kali, mau ngerasain naik bus juga, lah, gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumerang
General FictionLuna baru benar-benar menjalin hubungan serius bersama Wisnu meskipun, Wisnu tak jarang membuat Luna naik darah. Di saat hubungan mereka hendak meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, sesuatu terjadi dan terpaksa membuat mereka saling menahan keingi...