37 - Tiga

419 72 24
                                    

Papa sakit. Dia pengen ketemu sama lo.

Davi membaca pesan yang baru masuk pada ponselnya itu dengan satu helaan napas. Ini jelas bukan kali pertama sang ayah sakit karena hal-hal yang menurut Davi sangat sepele. Tapi Alan memang tipikal pria yang sangat pemikir, sensitif, Davi menyadari itu dengan baik.

Dalam keluarga Syahm, Lutfi adalah putra kesayangan Carolina ketika Davi adalah putra kesayangan Alan. Lutfi adalah tipikal anak yang sangat penurut dan selalu bertingkah baik, Carolina akan dengan bangga mengajak Lutfi ke manapun. Lutfi selalu ikut dengan sang Ibu. Mereka sangat dekat, bahkan hingga saat ini.

Berbanding terbalik dengan Lutfi yang penurut dan selalu bertingkah baik, Davi adalah tipikal anak pembangkang yang sangat gemar membuat masalah. Davi seringkali tak mendengarkan nasihat sang Ibu sampai-sampai Carolina paling malas mengambil report semester Davi.

Tapi dibalik kekesalan sang Ibu, sang Ayah malah berpikir sebaliknya. Alan memang jarang berada di rumah, jarang memantau kegiatan yang dilakukan putra-putranya karena kesibukan, tapi tiap pulang ke rumah, Davi adalah yang pertama Alan cari. Alan sangat senang memamerkan Davi ke teman-temannya. Senakal apapun Davi, Alan akan membela Davi. Bahkan dia bersumpah akan memberikan apapun yang Davi inginkan, saking sayangnya pada Davi.

Meskipun Davi sendiri tak paham, apakah rasa sayang itu masih ada setelah apa yang terjadi beberapa tahun belakangan?

"Nih,"

Davi mendongak dan buru-buru memasukkan ponsel ketika mendapati Nara yang baru saja datang membawa nampan berisikan makanan dan juga minuman bersoda. Davi tersenyum dan membantu Nara meletakkan makanan yang dia bawa di atas meja.

"Coca-cola habis, ya?" tanya Davi, melirik minuman yang Nara bawa.

Satu alis Nara terangkat. "Coca-cola? Ada. Loh, lo tadi pesannya Pepsi, kan?" tanya Nara, menarik kursi dan duduk di hadapan Davi yang diam sejenak sebelum mengangguk.

Davi meraih pepsinya dan menyedot isi dalam gelas dengan sedotan yang ada sedangkan, Nara mulai memakan ayam goreng yang dia pesan dengan sangat lahap. Davi meletakkan pepsi dan terlalu sibuk untuk memperhatikan cewek di hadapannya makan.

"Lo ngapain lihatin gue terus? Gak mau makan? Buat gue, ya?" Nara menyadari tatapan Davi padanya dan Davi terkekeh geli sebelum mendorong makanannya ke arah Nara yang terbelalak. "Eh, gue cuma bercanda. Habisin makanan lo." Nara kembali mendorong ke Davi yang menahannya.

"Enggak. Gue udah kasih ke lo. Lo yang habisin. Gue maksa."

"Ish."

Nara mengerucutkan bibir, merajuk dan Davi terkekeh kecil lalu, lanjut memperhatikan Nara yang mulai kembali makan.

"Nara."

"Hm?" Nara menjawab dengan dehaman, mulutnya penuh dengan ayam goreng yang tak pernah mengecewakan cewek itu.

Davi menarik napas dan melepas masker yang dia kenakan. Baru ingin menanyakan sesuatu, suara disertai blitz sebuah kamera menyilaukan mata keduanya.

Davi dan Nara menoleh, mendapati orang asing yang keduanya yakini sebagai wartawan, baru saja mengabadikan gambar mereka yang pastinya akan menghiasi tiap sudut sosial media malam ini atau besok hari. Mengetahui jika dia ketahuan, wartawan itu pergi begitu saja, tak peduli jika blitz kameranya sukses membuat beberapa pengunjung yang semula tak menyadari keberadaan Davi, tiba-tiba menoleh. Davi buru-buru mengenakan masker, menutupi wajahnya rapat-rapat sebelum ada orang lagi yang mengenalinya.

"Davino, tadi itu.."

Davi menggeleng, tangannya meraih tangan Nara, menggenggamnya erat.

"Bukannya aku udah janji buat mastiin keamanan dan kenyamanan kamu?"

BumerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang