15 - Acara Mall

511 88 16
                                    

"Nu, cewek lo aman dalam pengawasan gue. Gue udah mastiin, dia gak dekat dengan cowok manapun kecuali gue dan salah satu sahabat cowoknya yang gue yakin, lo pasti kenal."

Davi menatap wajah pucat Wisnu dengan pilu. Bagaimana tidak? Sudah hampir sebulan berlalu dan belum ada tanda-tanda apakah Wisnu akan sadar atau tidak. Setiap pulang syuting, Davi akan mengunjungi Wisnu, seperti sekarang. Davi akan duduk di kursi dekat ranjang tempat Wisnu tengah berbaring kaku lalu, menceritakan hal-hal yang sudah dilaluinya pada hari itu.

Seperti memberi Wisnu laporan kegiatan yang sudah Davi lalui selama seharian penuh. Memang selama ini, Davi terbuka terhadap Wisnu dan sangat tersiksa bercerita panjang lebar, tapi tak direspon sama sekali oleh seseorang tempat kita bercerita.

Masih sambil menatap wajah pucat Wisnu, Davi kembali bercerita, "Lo inget gak? Dulu, lo ngeledekin gue gay gara-gara gue belum juga punya pacar dan sekarang, lawan main gue yang juga gue udah tolak berulang kali, buat fitnah yang sama kayak lo. Parahnya, cewek lo percaya gue itu gay dan seberapa keraspun gue menjelaskan ke dia, dia gak percaya."

Davi memutar bola matanya, jengkel mengingat bagaimana Luna mengejeknya habis-habisan tentang hal itu.

Omong-omong, Davi dan Luna baru meninggalkan rumah makan yang kata Luna sangat menyebalkan karena harga makanannya yang mahal—aslinya, rumah makan itu memiliki harga yang normal, tapi Davi sengaja meminta si pelayan untuk membuat bill palsu untuk mengerjai Luna—tepat pukul empat dini hari.

Setidaknya, Davi cukup bertanggungjawab mengantarkan Luna pulang sampai tepat di depan gerbang rumahnya, bahkan Davi menunggu sampai Luna benar-benar masuk ke dalam rumah sebelum meninggalkan rumah itu.

Tapi tenang. Luna masih mengira dia memiliki hutang besar kepada Davi dan Davi bisa menggunakan alasan itu untuk menghubungi Luna, meminta cewek itu datang untuk menghiburnya di kala Davi merasa butuh hiburan. Ah, tiap melihat Luna, sisi kekanak-kanakan Davi muncul dan ini sangat jarang terjadi.

"Sori, gue ngerjain cewek lo. Abisnya dia nyeselin, ya gue bikin dia kesel juga biar impas. Walaupun, katanya sekarang udah jaman emansipasi, tetap aja, cowok yang layak jadi pemimpin. Gue bingung aja, kenapa selama ini lo mau dipimpin ngapa-ngapain sama dia? Harusnya lo yang mimpin dia, bukan sebaliknya."

Davi menghela napas dan di saat bersamaan, ponselnya bergetar. Davi meraih ponsel di sakunya dan mendapati nama Kak Atika tertera di sana. Tanpa mengangkat panggilan, Davi menatap waktu yang tertera di layar ponselnya. Sudah pukul sembilan pagi dan Davi belum tidur sama sekali.

Dengan cepat, Davi mematikan ponsel dan menghela napas menatap Wisnu kembali.

"Nu, gue gak bisa lama-lama, maaf. Kak Atika udah nelpon, itu berarti gue ada kerjaan hari ini. Doain gue semoga semuanya lancar, ya." Davi bangkit berdiri dari posisi duduknya. Senyuman tipis muncul di bibir Davi, "Bangun cepet, Bro. Gue gak jamin cewek lo bakal bertahan sama lo kalo lo masih terus dateng ke mimpi gue dan minta gue jagain dia."

Setelah itu, Davi berbalik sambil mengenakan masker dan tudung jaketnya. Dia melangkah meninggalkan ruangan tempat Wisnu berbaring selama hampir satu bulan belakangan.

Tanpa melihat jika jari telunjuk tangan kanan Wisnu sedikit bergerak, seperti ingin menahan Davi agar tetap berada di dekatnya.

☢☢☢

Efek mabuk semalam masih terlihat sangat jelas di wajah para anggota gang Biru, apalagi Siska. Sulit membedakan Siska mabuk atau tidak karena saat sadar pun, terkadang dia bicara tak jelas seperti orang yang sedang mabuk.

Beda halnya dengan Ayu yang sudah melewatkan dua kelas hanya untuk tidur dengan posisi duduk di bangku kantin tempat gang Biru biasa duduk. Dia terlihat sangat mengantuk dan tak banyak bicara seperti biasanya.

BumerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang