20 - Pelukan Ibu

432 91 16
                                    

Mobil yang Lutfi kendarai berhenti di rumah makan yang langsung membuat Luna menelan ludah, mengingat kejadian beberapa hari lalu di mana dia harus berhutang karena harga makanan di rumah makan ini sangat mahal. Sungguh, Luna masih ingat melihat angka satu juta dua ratus ribu di bill yang harus dia bayar, padahal hanya sedikit makanan yang Luna pesan.

"Kita bicara di sini, ya? By the way, saya pemilik rumah makan dan saya punya ruangan privat di sini, supaya kita bisa bicara tanpa gangguan."

Luna menoleh menatap Lutfi. Cengiran muncul di bibir cewek itu. "Ini beneran rumah makan punya Bapak?"

Lutfi mengangguk. "Serius. Sebenarnya, punya keluarga. Tapi untuk sementara, saya yang ambil alih pengelolaan sampai nanti akan direnovasi rumah makan ini."

"Harga makanannya juga perlu dievaluasi, Pak."

Satu alis Lutfi terangkat. "Kenapa? Kamu pernah ke sini?" Lutfi melepaskan sabuk pengamannya, "Setahu saya, rumah makan ini justru harganya lebih terjangkau daripada rumah makan lain di sekitar sini. Fasilitasnya juga lebih baik."

"Kalo begitu, harga menu makanan di rumah makan sekitar sini selangit banget, ya, Pak? Sumpah, deh, saya gak sanggup buat makan di sekitar sini." Luna ikut melepaskan sabuk pengamannya.

Jangan salahkah Luna yang terlalu ceplas-ceplos berbicara pada orang yang baru dikenalnya dan berstatus sebagai dosennya. Tapi itulah Luna. Salah satu prinsip hidup Luna: malu bertanya, sesat dijalan. Jadi, mau tak mau, Luna memang harus bertanya mengenai hal-hal yang mengganjal pikirannya.

Lutfi memberi Luna tatapan bingung sebelum menghela napas dan berkata, "Ya, sudah. Coba kita periksa. Ayo, turun."

Luna melangkah di belakang Lutfi yang nyatanya benar-benar disambut para pelayan, seperti tengah menyambut raja. Luna terus mengekori Lutfi sampai Lutfi menghentikan langkah kakinya tepat di depan sebuah pintu yang sepertinya terkunci.

Pria yang mengaku sudah beristri dan berusia 28 tahun itu merogoh saku celana bahan yang dia kenakan, mengeluarkan sebuah kunci dan menggunakan kunci itu untuk membuka pintu. Pintu terbuka dan Lutfi mempersilahkan Luna masuk sambil berkata, "Kamu pasti kaget, ya, saya ajak ke sini. Saya mau jelasin ke kamu dan saya harap, kamu gak berpikiran yang macam-macam."

Luna buru-buru menggeleng. "Enggak, kok, Pak. Saya orangnya selalu positif, kok."

Lutfi mengangguk dan mempersilahkan Luna duduk di sofa panjang ketika Lutfi mulai duduk di sofa lainnya setelah menutup pintu rapat-rapat. Luna menahan napas. Tadi dia tak gugup sama sekali, tapi setelah masuk ruangan ini, rasa gugup Luna timbul kembali.

"Saya mau memperkenalkan diri lebih jelas ke kamu. Saya Lutfi Ataric Syahm." Lutfi memperkenalkan diri dan Luna harus berpikir keras mencoba mencari tahu dalam memorinya mengenai nama itu. Tak asing.

Melihat Luna yang masih berpikir keras agar dapat mengingat nama tersebut, Lutfi terkekeh geli. "Jelasnya, saya Kakak kandung Davino Alaric Syahm."

Nama Davino disebut dan Luna membeku. Benar, kan? Luna memang merasa seperti tak asing dengan wajah Lutfi yang tampan. Ada beberapa hal di wajah Lutfi yang mengingatkan Luna tentang Davi.

"Saya sudah dapat laporan dari pelayan mengenai pembayaran kamu yang jumlahnya mencapai satu juta lebih." Lutfi menahan napas dan menghelanya, "Oleh karena itu, saya sengaja mengajak kamu ke sini untuk meminta maaf atas hal itu. Ini bill kamu yang asli." Lutfi menyodorkan sebuah kertas kecil yang merupakan bill.

Luna meraih bill itu dan matanya melotot tatkala langsung melihat jumlah yang seharusnya dia bayarkan. Hanya seratus dua puluh ribu, sepuluh persen dari satu juta dua ratus ribu rupiah. Apa-apaan?!

BumerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang