Laluna Emalia Putri baru benar-benar merasa kesepian pada malam hari. Jika siang hari Luna bisa terlihat bahagia, itu karena dia memiliki teman-teman yang cukup menghibur dan membantunya mengalihkan perhatian dari kesedihan. Tapi di malam hari, tak akan ada yang tahu seberapa kesepian Luna, bahkan tak jarang cewek itu menangis dan tertidur setelah puas menangis.
Luna sangat merindukan Wisnu.
Wisnu dan kecintaannya pada games. Wisnu dan panggilan-panggilan ataupun pesan Luna yang butuh waktu lama untuk mendapat jawaban. Wisnu dan perhatian manisnya. Wisnu dan gombalan recehnya. Wisnu dan semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama.Luna menghela napas dan memutar posisi berbaringnya menjadi menyamping. Setidaknya itu yang Luna lakukan dengan harapan dapat membantunya menghapus bayang-bayang Wisnu, tapi sayangnya tak berhasil.
Cewek itu beranjak dari ranjang dan di saat bersamaan ponselnya berdering. Luna meraih asal ponsel yang ada di atas meja di samping ranjangnya, mengernyit mendapati nomor asing yang tertera di sana. Luna menghela napas sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?" Luna menyapa jutek.
"Jangan jutek-jutek jadi cewek. Cepet tua lo!"
Mata Luna terbelalak. Siapa cowok yang seketus ini bicara padanya kalau bukan...
"Lo tahu nomor gue dari mana?!" Luna mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk di ranjang, memeluk boneka teddy bear pemberian dari Wisnu.
Luna dapat mendengar kekehan dari jauh sana sebelum cowok itu berbicara, "Gue pernah ngehubungin lo, kan.""Kapan?" Luna memicingkan mata, berusaha mengingat-ingat, tapi sayangnya Luna tak mampu mengingat semuanya. "Bohong lo! Ini siapa, sih? Kayaknya gak mungkin si aktor sialan itu walaupun, sekilas cara ngomong lo sama dia sama."
"Siapa yang lo sebut aktor sialan, sori?"
"Davino Alaric Syahm. Aktor. Sialan." Luna menekankan kata aktor dan sialan.
Kali ini, Luna mendengar helaan napas dari jauh sana. "Lo penampilan doang anggun. Dalemnya kayak gak berpendidikan. Mulut jelek banget."
"Lo kayak nyokap gue, anjir."
"Mulut, mbak."
Luna memutar bola matanya. "Ya, ya, ya. Lo ngapain nelpon gue? Dapat nomor gue dari mana?" Luna mulai percaya jika yang menghubunginya saat ini adalah aktor menyebalkan itu.
"Gak usah nyari tahu nomor lo, Bawel dan alasan kenapa gue nelpon lo adalah buat ngingetin kalo lo masih punya hutang yang belum lo lunasin."
"Katanya lo orang kaya! Duit segitu aja masih dibahas-bahas! Ditagih terus lagi!"
"Duit segitu? Kalo gitu, gue minta transfer, dong, duit segitunya. Walaupun, cuma segitu, itu duit sangat berguna buat gue."
Luna mendengus. "Ya, enggak sekarang juga! Udah malem! Gak ada saldo juga di ATM gue!"
"Ah, sudahlah. Kembali ke tujuan awal gue nelpon lo. Gue mau nawarin lo sesuatu anggap aja sekalian bayar hutang."
Satu alis Luna terangkat. "Apaan lagi? Mau ngerjain gue, ya, lo?"
"Manajer gue cuti buat nikah plus bulan madu selama dua minggu. Gue gak ada manajer jadi, gue mau lo jadi manajer sementara gue."
Luna diam, berusaha mencerna maksud Davi sebelum melotot. "Idih! Jadi manajer lo? Ogah! Males banget! Ketemu sekali-dua kali sama lo aja bikin apes, gak usah nyuruh gue jadi manajer lo!"
"Cukup bilang gak mau, Bawel. Gue gak butuh celotehan lo tentang gue."
"Lo ngapain nelpon gue? Kalo cuma mau nawarin gue jadi manajer lo, gue udah jawab. Kalo udah, gue matiin sebelum emosi gue meledak karena terlalu sering ngomong sama lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumerang
General FictionLuna baru benar-benar menjalin hubungan serius bersama Wisnu meskipun, Wisnu tak jarang membuat Luna naik darah. Di saat hubungan mereka hendak meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, sesuatu terjadi dan terpaksa membuat mereka saling menahan keingi...