3. Senyumnya

264 24 6
                                        

Seolah pagi menyertai kebahagiaanku, terbitnya fajar mengukir senyumku, dan sinar mentari membangkitkan semangatku. Dengan senyum sumringah aku berjalan menuju ruang kelasku, memperlihatkan kebahagiaanku pada semesta—aku bahagia bahkan sangat bahagia karena alasan kebahagiaanku ada didepan mata.

Ku langkahkan kakiku masuk kedalam kelas yang tidak begitu ramai, hanya ada beberapa murid saja yang bisa di kategorikan murid rajin—lebih tepatnya disiplin karena datang tepat waktu salah satunya; Kinara. Gadis cantik itu tersenyum manis kepadaku ketika aku melewati mejanya tentu saja, aku membalas senyumannya.

Aku meletakkan tas gendongku dikursi ku, setelah itu aku menghampiri Zahra yang sedang sibuk dengan handphonenya. Zahra memang selalu datang pagi, karena rumahnya yang terbilang jauh mengharuskan ia untuk datang lebih awal agar tidak terjebak macet dijalan—sedangkan aku tidak perlu takut terjebak macet karena jarak rumahku ke sekolah lumayan dekat tidak perlu menggunakan kendaraan umum.

"Hei!" ucapku menepuk bahunya pelan.

Zahra menoleh sambil tersenyum, ia memasukkan handphonenya kedalam saku bajunya. "Eh, tumben dateng pagi?" tanya Zahra heran.

Ya, memang aku selalu datang ke sekolah tidak pernah sepagi ini karena aku harus menunggui Intan—sahabatku yang satu itu bisa disebut pemalas karena selalu bangun kesiangan dan alhasil aku selalu terlambat ke sekolah karena menunggunya dulu.

Tapi, pagi ini Intan piket jadi ia harus datang lebih awal agar tidak kena marah oleh wali kelasnya. Wajar saja ia mau datang sepagi ini karena wali kelasnya itu, Bu Wenda--guru paling ganas di sekolah.

"Iya, Intan piket jadi berangkat pagi."

"Lo kenapa mau nungguin Intan sih? Kan kalo lo berangkat sendiri lo gak bakal telat setiap hari." ucap Zahra nampak sedikit kesal.

Aku tersenyum. "Ya gak pa-pa, gak enak aja jalan sendiri."

Zahra memutar bola matanya malas, lalu ia mengeluarkan kembali handphonenya dan mengacuhkan ku, sementara aku hanya diam sambil melihat kearah bangku kosong yang penghuninya belum datang—padahal jam sudah menunjukkan pukul 06:10 yang artinya bel akan berbunyi 20 menit lagi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, yang sedari tadi kupikirkan pun akhirnya datang, cowok itu melangkahkan kakinya menuju ke kursi tempat duduknya bersama dengan Kinara.

Aku sempat tertegun saat sedang asyik memperhatikannya secara terang-terangan, ia juga membalas tatapanku dan tersenyum tipis. Meskipun senyumannya sangat tipis tetapi, mampu membuat hatiku terasa ingin terbang. Dan tolong, jika kamu sudah menerbangkan hatiku jangan kamu jatuhkan lagi. Karena itu sakit!

"Zah, gue balik ke tempat duduk gue ya." Zahra menoleh lalu, mengangguk.

Aku berjalan ketempat dudukku, dan mengeluarkan buku pelajaran hari ini. Ku lihat Adam bangkit dari duduknya lalu, berjalan kearahku—aku menoleh dan mendapati Adam berada dihadapanku.

"Za, punya rautan?" tanya Adam.

Aku mengangguk pelan. "Punya,"

"Boleh pinjam?"

"Iya," aku mengambil tempat pensilku yang belum sempat ku keluarkan dari dalam tas lalu, mengambilkan rautan untuk Adam. "Nih."

Adam mengambil rautanku dan membawanya keluar kelas—mungkin ia ingin meraut pensilnya, pikirku. Tak berapa lama Adam kembali sambil menyerahkan rautanku yang ia pinjam barusan.

"Nih, makasih ya."

"Sama-sama." jawabku sebisa mungkin tidak terlihat gugup didepannya.

Semua murid di kelasku sudah hadir semua, bel masuk juga sudah berbunyi. Suasana yang mulanya gaduh sudah berubah menghening karena guru pelajaran pertama sudah masuk kedalam kelasku.

Love in SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang