Aku baru saja tiba di rumah pukul 5 sore dan diantar oleh supir grab bike. Jika kalian tanya apa aku tidak pulang bersama dengan Intan maka jawabannya tidak! Bahkan Intan saja sehabis dari toilet tadi ia tidak kunjung kembali dan dengan kurang ajarnya sahabatku itu sudah pulang terlebih dahulu dan meninggalkan ku berdua dengan Adam di caffe tadi.
Dan Adam? Apa kalian berpikir aku akan diantar pulang oleh Adam? Jawabannya juga tidak! Justru Adam dengan cueknya meninggalkan ku di caffe sendirian tanpa berbasa-basi mengajak ku untuk pulang bersama.
Baru saja aku diterbangkan olehnya kemudian dengan sengaja ia menjatuhkan ku ke jurang.
Tidak bisakah cowok itu bersikap manis setiap hari padaku? Rasanya aku ingin berteriak di depan wajahnya agar ia tahu apa yang aku inginkan darinya.
Setelah membayar ongkos untuk supir grab itu aku masuk ke dalam rumah yang tampak sepi.
Ku lihat di ruang tamu Papa sedang duduk sembari menonton televisi yang sedang menyiarkan siaran berita di sore hari. Aku menghampiri Papa yang tampak serius, bahkan beliau tidak menyadari kehadiranku.
"Assalamualaikum, Pa." ucapku memberi salam, Papa menoleh kearahku sambil tersenyum lalu, aku mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumsalam, kamu habis dari mana?" tanyanya yang tidak langsung ku balas.
Aku mendudukkan bokong ku di soffa—samping kanan Papa—kemudian baru aku menjawab pertanyaan Papa.
"Dari caffe Pa, bareng Intan." Papa mengangguk sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya kearah televisi.
Aku menyandarkan punggungku ke sandaran soffa lalu mengikuti Papa menonton televisi. Ku lihat Mama dari arah dapur menghampiri aku dan Papa. Kedua tangan Mama membawa sepiring kue bolu yang ku yakini baru saja Mama buat.
Mama meletakkan kue itu diatas meja, kemudian duduk disamping ku.
"Kamu baru pulang, Za?" tanya Mama menoleh kearahku.
Aku mengangguk. "Iya Ma, Mama bikin bolu?" aku mengambil bolu coklat itu lalu mencicipinya.
"Iya, enak nggak?" tanyanya meminta pendapatku yang ku balas dengan anggukan antusias.
Jika Mama yang memasak semua makanan apapun akan terasa sangat enak, pokoknya makanan yang dibuat oleh tangan Mamaku adalah makanan favorit ku.
Mama selalu bisa membuat segala jenis makanan dari; sayur-mayur, lauk-pauk, kue, makanan ringan, dan sebagainya. Sedangkan aku yang notebene anaknya tidak bisa memasak—jangankan masak kue seperti yang Mama buat, aku disuruh masak telur dadar saja gosong.
Mama selalu bilang padaku untuk belajar memasak agar nanti kelak jika Mama sudah tidak bisa memasak aku yang menggantikannya tetapi, aku sangat malas jika berhubungan dengan alat-alat dapur atau bahan-bahan masakan apalagi jika aku disuruh mencuci daging, sudah ku pastikan aku langsung mual-mual—jujur aku sangat tidak suka dengan daging sapi, kerbau, dan kabing. Lebih baik aku memakan daging ayam.
Meskipun kata orang daging sapi lebih mahal ketimbang daging ayam tetap saja mulutku menolak jika memakan daging.
Aku memakan kue bolu itu sudah 5 kali, mungkin kalau tidak diambil oleh Papa kue itu sudah ku habiskan. Tapi, Papa melarangnya dan bergantian Papalah yang memakan bolu itu sekarang—Mama hanya tertawa melihat aksi aku dan Papa yang rebut-rebutan kue.
"Ihh Papa, aku masih mau bolunya." ucapku memberenggut sambil berusaha mengambil piring yang Papa pegang.
"Kamu udah makan banyak lho, Za gantian Papa dong." jawab Papa tak mau kalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silent
Fiksi RemajaDalam diam aku menyimpan, sebuah kata yang sulit untuk ku ucapkan. Dalam diam aku memendam, sebuah rasa dalam rangkaian aksara. Dalam diam aku menyembunyikan, sebuah harap yang terpendam tanpa terungkap. Dalam diam aku menyebut namamu dalam setiap d...