Tak ada yang lebih buruk ketika menyadari kalau sekarang adalah kali kelima Daffa mengajaknya jalan berdua.
Iya, kelima. Daffa memang gila.
Adel uring-uringan di kasur, seperti orang bimbang. Ah, dia memang sudah seperti itu sikapnya. Tapi sekarang, sepertinya beda. Adel terus memutar otaknya, mengingat kalimat dari seluruh kalimat yang terekam jelas hingga saat ini.
Adel membuka kalender yang ada di ponselnya. Besok, hari Sabtu, sudah tercantum jadwalnya jalan dengan Daffa. Lagi-lagi Adel uring-uringan di kasur. Ada berbagai pertanyaan yang sedaritadi sudah dipikirkannya, atau bahkan sudah direncanakan matang-matang. Yang namanya setan dan malaikat selalu ada di kanan-kiri, menyebabkan Adel pusing dengan pilihannya.
"Ajak atau nggak? Ajak atau nggak? Ajak atau nggak? Ih!"
Bangun dari uring-uringannya, Adel meremas pelan rambut panjangnya, kemudian menghela napas dan kembali melakukan aktifitas tersebut.
"Ok, Adel. Jadi rencananya sudah diputuskan! Lo ajak Reysa juga buat jalan berdua--ah, bertiga sama gue plus Daffa. Bukti awal, liat reaksi dia waktu lo ajak dia jalan juga. Bukti kedua, liat gerak-gerik dia di hadapan Daffa. Bukti ketiga, keluarin obrolan yang bisa bikin lo tau apa yang Reysa rasain waktu jalan sama Daffa. Good!" Adel berbicara nyaris tak bersuara, takut-takut kalau Daffa tiba-tiba ada di balkon dan mendengar semua rencananya.
"Oh! Jangan lupain Daffa juga, gue harus liat apa reaksi dia!"
Memang bukan Adel namanya jika dia tidak penasaran terhadap apapun yang mempengaruhinya. Adel tahu ini kelewatan, namun rasa keingintahuan yang melebihi rasa khawatir membuat Adel tak lagi peduli apapun yang akan terjadi nantinya.
Termasuk rasa sakit hati, mungkin. Dan mau tidak mau, ia harus siap.
Juga, bukan karena Adel tak mempercayai Reysa ataupun Daffa. Ini murni dari keingintahuan saja.
Adel membawa ponselnya sembari jalan keluar kamar. Duduk di sofa, perempuan itu mulai mencari kontak Reysa, hendak menelepon. Tangannya ragu untuk menekan tombol telpon. Adel menyempatkan diri untuk menggigit bibir bawahnya, sebelum benar-benar menghubungi Reysa.
"Halo?"
Adel hampir terlonjak dari kursinya ketika sadar Reysa mengangkat telpon dengan sangat cepat. "Halo, Rey!"
Seriang mungkin Adel usahakan untuk bicara dengan sahabatnya. Tanpa babibu lagi, Adel langsung berucap, "Besok temenin gue jalan sama Daffa, dong!"
Reysa diam sesaat di seberang sana. Yang mengajak Adel, namun Reysa merasa ada kesenangan tersendiri di hatinya. Adel sendiri mulai jengah karena Reysa tak merespon apa-apa.
"Rey?" Reysa menyeringai kecil mendengar panggilan itu. "Ya? Ok, kalo mau minta temenin. Tapi gue juga nggak mau jadi nyamuk, wajar-in kalo nanti gue kabur-kaburan."
Adel terkikik sebentar, merasa lega. "Sip, hari Minggu gue tunggu di rumah gue. Makasih, Rey."
Dibarengi sambungan terputus, Reysa melompat senang.
***
Sabtu, Reysa benar-benar datang ke rumah. Saat itu Adel masih belum mandi, dan melihat betapa anggunnya Reysa mengenakan pakaian yang begitu jauh lebih keren dibanding pakaian yang Adel punya. Bentuk tubuh dan wajah Reysa yang memang menang dari Adel, membuat Adel jadi nervous sendiri. Sebentar Adel merasa menyesal mengajak Reysa.
"Astaga, Adel! Lo belum mandi?! Eh, nggak papa, sih, jadinya gue bisa dandanin lo. Mandi sana, tadi gue liat Daffa udah siap-siap." Reysa mendorong tubuh Adel sembari menaruh tasnya di kursi tamu. Adel merenggut kesal diperlakukan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Daffa To Adel [Completed]
Ficção AdolescenteSiapa yang menyangka kalau ketos yang dibilang galak dan sangar itu ternyata berotak mesum dan bertingkah manja serta menyebalkan. Memang, orang-orang takkan percaya dengan gosip di atas, karena yang namanya Ketua OSIS pasti sudah tertanam sikap pos...