Bab Tujuh Belas - Tentang mereka yang mencintai.

6.1K 325 27
                                    

Gava terus terduduk di kursinya seraya memainkan bolpoin dalam dua jam terakhir. Jika dihitung, lebih dari dua puluh kali Gava menengok kepada apa yang ada di sebelahnya.

Dan jawabannya selalu sama; kosong.

Daffa dipanggil ke meja piket untuk mengurus sumbangan yang diberikan SMA ini bersama dengan anak OSIS lainnya sejak bel masuk berbunyi. Satu jam kemudian, anggota OSIS sudah kembali dari meja piket, namun tidak dengan Daffa. Guru sejarah bertanya kemana perginya Daffa, dan Gava melihat anggota OSIS dari kelasannya saling pandang lalu berbicara ragu, "Daffa masih ada urusan sama pembina OSIS."

Hanya Gava yang tahu kalau kalimat itu adalah bohong.

Bukannya ingin berpikiran negatif ataupun berprasangka negatif, tapi Gava 50% yakin laki-laki itu marah padanya tentang kejadian kemarin siang saat istirahat. Kemungkinan besar Gava yang menjadi patokan Daffa berlama-lama tak masuk kelas. Gava memang tidak sangat dekat dengan Daffa, namun cukup mengerti bagaimana sikapnya.

Selagi guru sejarah masih menerangkan hingga sepuluh menit lagi, Gava menyempatkan untuk membuka ponselnya, mencari kontak Daffa dan mengiriminya sebuah pesan. Biarpun kejadian kemarin juga cukup membuatnya sakit hati, laki-laki itu masih tak tega jika membiarkan Daffa dalam kondisi yang tak memungkinkan. Apalagi sekarang ada Reysa yang sudah memulai sinyal permainan.

'Ck, cewek itu!'

Gava.
Cepetan ke kelas. Nggak usah kayak cewek yang ngambek cuma gara-gara temennya suka sama pacar lo. Adel aja nggak sealay lo, waktu tau Reysa masih suka sama lo.

Gava tersenyum kecil saat mengirimkan pesan tersebut, karena ia tahu, Daffa takkan sudi diejek seperti yang Gava ketik tadi. Tinggal menghitung waktu, Daffa pasti akan datang ke kelas.

Gava melirik ke arah guru sejarah yang masih mengajar dengan santainya tanpa melihat ekspresi murid-muridnya. Syukurlah, setidaknya ia takkan ketahuan main ponsel.

"Pagi, Pak. Maaf saya terlambat masuk kelas."

Tuh, kan.

"Oh? Nak Daffa, silakan masuk."

Daffa mendelik tajam ke arah Gava, dengan makna tentunya, yang entah mengapa menggoda Gava untuk mengeluarkan seringaian. Tepat ketika Daffa mendudukkan dirinya di sebelah Gava, laki-laki itu berkata, "Gue bukan cewek dan gue nggak suka lo nyebut-nyebut nama mereka berdua."

"Kenapa? Lo cemburu? Nyesel? Sakit hati?" Gava mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah Daffa.

Daffa tak menyahut, lebih memilih sibuk pada buku tulisnya dan mulai mencatat apa yang disampaikan guru sejarah di depan. Gava menghela napas pelan, saking pelannya sampai Daffa tak tahu.

Baru saja ingin mengikuti apa yang Daffa kerjakan; mencatat apa yang diterangkan guru sejarah, bel pergantian jam sudah berbunyi. Kali ini Gava benar-benar menghela napas, sampai membuat dua cowok yang duduk di depannya menatap Gava dengan pandangan yang minta ditampol.

"Apa?" tanya Gava risih.

"Baru pertama kali gue denger suara kesenengan Gava gara-gara jam pelajaran sejarah habis."

Oh, salah paham rupanya.

Gava memang tergolong anak yang pintar tak lupa rajin, yang katanya saat masih SMP dulu selalu mendapat nilai terbaik satu sekolah. Sakingnya saja di sekolah ini banyak yang pintar, Gava menjadi sulit untuk menyeimbangi agar menjadi yang terbaik lagi. Ah, tak lupa juga karena faktor sudah jadi anak SMA yang 'sedikit' badung.

Gava tak pernah mendesah kegirangan jika ada bel yang berbunyi, baik pergantian jam, istirahat, ataupun pulang. Dan untuk yang tadi, mungkin membuat dua cowok di depannya salah paham.

From Daffa To Adel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang