Bab Sembilan Belas - Pelangi.

6K 318 27
                                    

"Kamu masih marah?"

Kata-kata yang sekarang menjadi pengganti rumus matematika bagi Adel. Selain sama-sama memusingkan, sederet kalimat pertanyaan itu membuatnya ingin muntah, sampai rasanya ingin mati. Bayangkan, pertanyaan itu adalah kali kelima belas Daffa kirimkan ke Adel baik lewat personal chat maupun secara langsung saat mereka tak sengaja bertemu di balkon.

Yah, yang namanya cinta, terkadang sulit untuk membenci jika sudah kelewat batas, bukan?

Adel ingin menimpuk wajah Daffa dan berkata kalau dia memang benar-benar benci dengan laki-laki laknat itu. Dia pikir mudah untuk memaafkan?

Daffa
Aku tunggu depan rumah.

Hah, drama. Adel mendengus membaca pesan dari Daffa. Baru saja ia memikirkan tentangnya, sekarang sudah nongol lagi dan gara-gara semua itu, Adel sangat ingin kembali membanting ponselnya yang tak bersalah hanya karena cowok yang tak punya harga diri.

Adel tak tahu bagaimana lagi cara mengatasi setan yang sudah masuk ke dalam otaknya, menyuruhnya untuk menemui Daffa sekaligus berkata terang-terangan kalau ia membenci Daffa, membunuhnya kalau bisa.

Padahal gue udah bilang kalo kita break dulu.

Butuh waktu sepuluh menit untuk Adel benar-benar turun tangga sambil menaikkan resleting jaketnya. Televisi dinyalakan, Adel mengerutkan dahi. Segala pikiran negatif memenuhi otaknya, mulai dari hantu sampai perampok, jangan lupakan tentang malaikat pencabut nyawa yang sekarang sedang keliling di otak Adel.

Semua itu tak berlangsung lama, seperti ditampar orang satu kecamatan, Adel kembali sadar dan pipinya memerah. Pikiran anak-anak. Pada nyatanya yang sedang menonton televisi adalah Ibunya. Tak salah lagi.

19.20

"Tumben pulang jam segini?" tanya Adel berusaha selembut mungkin. Tak ada jawaban yang Adel dapat. Gadis itu melangkahkan kakinya selangkah untuk mengetahui mengapa Ibunya tak menjawab pertanyaan Adel.

Sebuah dengkuran halus menghancurkan atmosfer ketakutannya. Adel menggeram kecil saat tahu kalau Ibunya hanya tertidur. Padahal dirinya sudah berpikir akan melihat Ibunya dalam kondisi mengenaskan.

Daffa.

Ah, iya.

Baru membuka pintu rumah, sesosok tubuh tegap sedang berdiri di depan rumahnya. Dengan cengiran yang sangat tak Adel kenal, laki-laki itu melambaikan satu tangannya mengarah ke sebuah mobil hitam yang anehnya Adel tahu.

Itu mobil Daffa.

Lantas siapa laki-laki itu? Temannya Daffa? Tidak mungkin, wajahnya justru terlihat tua untuk dikatakan anak SMA. Berpas-pasan dengan itu, Adel melangkah maju sampai dapat membuka gerbang rumahnya dan mendapatkan pandangan serta wajah laki-laki tersebut secara langsung. Adel... sepertinya sudah pernah menemukan wajah ini.

"Hei, Adel, ya?" Laki-laki tegap itu menyapanya dengan ramah. Suara ini, membuat Adel memicingkan mata. "Kenapa? Pasti kamu lupa siapa saya. Kakaknya Reysa, Rio. Salam kenal lagi."

Dia tersenyum begitu tulus, namun sayangnya Adel tak melihat. Yang Adel lihat saat ini adalah bayang-bayang. Ia menyatukan keseluruhan yang telah ia lihat tadi. Menyatukannya hingga Adel menemukan sebuah kesimpulan. Wajahnya yang baru saja tadi memiliki ekspresi kini berubah datar, dan sama cepatnya, sekarang ekspresi yang ia keluarkan sangatlah menyayat hati.

Rio membuka mulut, mengoceh panjang lebar sedaritadi. Adel tak mau mendengar semua itu, ia menginginkan sebuah fakta, makanya ia menunggu sampai Rio menyelesaikan kalimatnya.

Rio berhenti bercerita, "Kabar lo gimana?"

"Daffa mau kemana?" tanya Adel tanpa memberikan jeda. Suaranya bergetar, disertai amarah. Matanya mulai memanas dibarengi tubuhnya yang menggigil. Adel sudah tahu apa kesimpulannya, dan Adel tahu apa alasan Rio bercerita panjang lebar.

From Daffa To Adel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang