"BABEEEHHH! SINI LO! TAU KATA JIJIK, NGGAK?!"
Semua orang dalam kelas memijat dahi di tempat saat mendengar jeritan Adel. Yang dipanggil 'babeh' malah lari terbirit-birit demi melindungi dirinya dari serangan malaikat maut-nya kelas. Adel tambah geram ketika dia tak kunjung bisa mencubit Babeh. Sebagai gantinya ia malah mencubit laki-laki yang sedang asik membaca buku di sampingnya.
"ADUH, SIALAN, SAKIT! SAKIT, WOY! AAAARRGG!"
Lebay.
"Kesel banget, ih! Temen lo, tuh! Dia bisa nggak, sih, nggak godain cewek sehariiiii aja?!"
Yah, kasian cowok itu. Padahal yang bersalah bukan dia, tapi malah mendapat cubitan ditambah omelan.
"Lo kenapa nyubit gue?! Yang salah siapa, yang dicubit siapa!"
"TETEP AJA, GUE KESEL!"
Adel membentak cowok itu dengan nada yang tak orang lain kenal. Kelas sunyi mendadak, seolah baru mendapati sesuatu yang asing. "Apa liat-liat?!" balas Adel membentak pada pandangan teman sekelasnya.
Untungnya Adel tidak kebablasan, hampir saja ia menangis di hadapan anak satu kelas.
"Maafin gue." Adel mengusap cepat lengan anak cowok yang tadi ia cubit kemudian menyeretkan kakinya menuju tempat duduk. Seiring ia berjalan, saat itulah ada tatapan yang begitu mengintimidasi. Adel mendengus keras-keras, lalu membalas tatapan dari perempuan yang tadi menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.
Semua murid di kelasnya masuk hari ini, dan Adel tak lagi memiliki tempat untuk duduk menjauhi Reysa. Ah, jangan sebut dia Reysa. Sebut dia putri licik.
"Kemaren lo ngapain Daffa? Dia marah besar, loh!" Reysa membuka topik sambil matanya terpejam. Adel mendadak ingin muntah, lagi-lagi yang diomongin Daffa. Ada topik lain nggak, sih?!
"Lo sendiri berharap gue ngapain Daffa? Yang jelas, gue nggak berbuat apa-apa sama dia. Justru dia yang berbuat apa-apa sama gue!" celoteh Adel menggebu-gebu. Reysa mengangkat kedua alis. Sialnya, tangan Adel sekarang sangat ingin merusak ekspresi yang ia keluarkan tersebut.
"Daffa lebih suka dimanjain. Dia nggak suka orang lain marah sama dia. Kalo lo marah, dia lebih mau pake cara tenang. Biarpun kadang dia suka pake cara kasar, itu juga dia lakuin kalo emosinya lagi nggak stabil. Kayaknya buat yang kemarin, lo melakukan sebuah kesalahan besar yang bikin Daffa ngamuk. Seandainya gue ngomong dari kemarin-kemarin, mungkin kalian nggak akan berantem--"
"Emangnya yang bikin kita berantem siapa, anj--"
Adel menggeram kesal seraya menggigit bibirnya sampai nyaris berdarah. Hampir saja ia mengeluarkan kata-kata kasar. Lawannya hanya mengedikkan bahu seolah-olah memang tak tahu alur cerita ini. Padahal dialah yang menjadi penulisnya. Dia menjebak siapa saja dan memaksa mereka untuk melakukan apa yang Reysa mau. Dan lihat? Reysa hampir mendapatkan ending-nya. Daffa dan Adel sudah hampir putus. Tinggalah Reysa membuat sequel tentang dia dan Daffa yang akhirannya akan bahagia.
"Cih." Tanpa sadar Adel mendecih memikirkan semua yang ada di otaknya. Perempuan di sampingnya menengok, lalu menyeringai, dan kembali pada aktifitas biasanya seperti tak terjadi apa-apa.
Masih jam sepuluh lewat lima menit. Istirahat. Biasanya Daffa akan datang ke kelas hanya untuk melihat Adel.
Adel kehilangan segalanya.
Adel tak punya orang tua yang selalu memberinya kasih sayang, semangat, dan rasa cinta. Yang ia punya adalah orang tua yang sibuk dan hanya menyempatkan diri di rumah pada hari libur, itupun kalau tak ada jadwal kantor tambahan. Dulu Daffa hadir, menggantikan orang tuanya yang selalu sibuk. Dulu Daffa mampur memberikan Adel kasih sayangnya, semangat, dan rasa cinta dalam pandangan Daffa yang khas.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Daffa To Adel [Completed]
Fiksi RemajaSiapa yang menyangka kalau ketos yang dibilang galak dan sangar itu ternyata berotak mesum dan bertingkah manja serta menyebalkan. Memang, orang-orang takkan percaya dengan gosip di atas, karena yang namanya Ketua OSIS pasti sudah tertanam sikap pos...