Bab Dua Puluh Satu - Kami.

5.5K 267 15
                                    

Terkadang, Adel bertanya pada takdir yang memegang kendali. Kapan dirinya bahagia? Kapan skenario ini selesai?

Adel berpikir, jika Daffa saja bisa bermain di belakang, mengapa Adel tidak? Masih ada banyak cara menuju Roma. Namun anehnya, di antara banyak cara tersebut, Adel memilih bertahan. Ia tak mau menyakiti siapa-siapa lagi lebih dari ini, tapi jika memang Daffa yang berkata untuk memutuskan hubungan mereka, ya sudah, Adel angkat tangan. Masalah Gava ikut bergabung, dan Adel sangat ingin melenyapkan dirinya mengetahui itu. Gava mencintainya, mencintai pacar dari sahabatnya. Dia membongkar semua itu saat hubungan Daffa dan Adel sedang hancur-hancurnya.

Bukannya Adel tak menyukai Gava, gadis itu hanya tak menyukai perlakuan laki-laki tersebut.

Sebuah tangan menyentuh puncak kepalanya, dan Adel baru bisa sadar kalau tangan itu adalah tangan Ibunya selang beberapa detik. Ia tersenyum, kemudian melihat Ibunya mengangkat sebuah kantong plastik berisikan sesuatu. "Mama bawain makanan dari luar. Makan, yuk!"

Untuk kali ini Ibunya lupa sesuatu. Wanita paruh baya itu tak lagi menanyakan mengapa mata Adel bengkak.

Begitulah keluarganya saat ini, berbanding terbalik dengan kehidupannya dulu. Kalau dulu penuh dengan kasih sayang, sekarang penuh kesunyian. Adel tak ingin memikirkan semua itu, namun segala kenangan demi kenangan melaju seperti kilat, kemudian berganti dengan yang lain dan membuat matanya terasa panas.

Kalo butuh gue, panggil aja. Lewat medsos atau langsung juga nggak papa.

Ucapan yang keluar dari mulut Gava terlontar lewat otaknya. Kaki yang sebenarnya ingin melangkah keluar untuk mengikuti langkah Ibundanya, menjadi terhenti sambil berpikir sebentar. Pandangannya ia arahkan ke ponsel yang diletakkan di kasur.

Gava yang penuh kepedulian, Gava yang penuh kasih sayang, Gava yang tidak terduga. Tak peduli lagi jikalau Adel salah mengambil langkah, ia mengambil ponselnya dan membuka kontak Gava.

Mau tidak mau, rela tidak rela, Adel harus berani melangkahkan kaki masuk ke dalam api.

Tak ada lagi orang baik di dunia ini.

***

Panggilan masuk: Gava.

Adel gelagapan melihat nama tersebut terpampang di layar ponselnya. Sambil mencoba menetralkan nada bicaranya, Adel mengangkat telepon, "Halo?"

"Punya masalah?"

Ow, dia terlalu to the point.

Adel terdiam cukup lama. Gava adalah orang yang baru ia kenal, yang baru masuk ke dalam dunianya. Akankah ia bisa mempercayai Gava?

"Halo, Adel? Lo masih di sana, kan?" sentak Gava. "Hm, cuma masalah kecil, kok--"

"Keluar sekarang, ketemu gue."

Dan sambungan terputus.

"Siapa, sayang?" Ibunda menampakkan dirinya kembali di kamar Adel, mungkin sadar kalau Adel tak ada di dekatnya. Adel menggeleng sebagai jawaban, kemudian berjalan mendekat. "Aku izin keluar sebentar. Nggak jauh-jauh, kok," ucap Adel tersenyum samar. Tanpa menunggu persetujuan, Adel meninggalkan Ibundanya pergi secara cepat.

Adel membuka pintu hampir seperti membantingnya dengan kencang. Benar saja, Gava menengok di depan sana, memasang wajah tidak sabaran kalau Adel tidak keliru. Secepat ini, tak ada satu menit. Apa maksudnya? Siapa Gava?

Sama kagetnya juga ketika Adel melihat celana jeans Gava yang sangat kotor, seperti habis jatuh tersungkur ke tanah penuh lumpur.

"Gava, lo kenapa?" Adel membuka pintu gerbang cepat-cepat, menatap celana jeans Gava sambil memberikan pandangan bertanya. Laki-laki itu membalas dengan senyum tulus, berbanding terbalik dengan ekspresi Adel saat ini.

"Waktu tahu lo chat gue, tubuh gue gerak lebih cepat. Saking cepatnya, sampai gue jatoh lagi naik motor, jadinya gini," jelas Gava mengangkat bahu. Adel menonjok pelan dada kiri pemuda di hadapannya, berharap Gava sadar kalau itu hukuman untuknya. "Gue khawatir, demi apapun," ujar Gava memulai ke inti.

Tak lama setelah berkata singkat, ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi Adel dengan lembut. Sebagai balasan, Adel memilih melakukan kontak mata langsung dengan Gava, kemudian beralih ke kulit wajah putih pucat Gava dengan serius.

"Kenapa kamu bersikap kayak gitu? Bukannya kamu tahu kalau aku sayang sama Daffa?" tanya Adel tak lepas dari manik Gava. Laki-laki itu terlihat kesulitan untuk bernapas, sampai ia harus menutup mata.

Ibarat kata, Gava merasa sakit ketika Adel menyatakan kalau ia menyayangi Daffa, seperti menandakan kalau tak ada celah untuk Gava singgah.

"Aku lebih kenal kamu daripada Daffa kenal sama kamu. Aku tahu kamu ada masalah, dan kamu tahu kalau aku sayang, suka, cinta sama kamu. Aku rela, Del. Rela bikin malu diri sendiri karena jatuh dari motor tadi, cuma buat kamu."

"Kapan kamu kenal sama aku? Aku nggak pernah tahu kamu sebelum aku kenal sama Daffa," tanya Adel lagi, tak berusaha menutupi rasa penasarannya.

"Kenal nggak berarti harus tahu. Aku kenal kamu, biarpun kamu nggak kenal aku."

Adel melingkarkan tangannya di leher Gava dan menenggelamkan wajahnya di tengkuk pemuda itu. Ada sebuah perasaan lega dalam dadanya. Sebuah kelegaan itu tergantikan dengan sebuah gelitikkan di perutnya saat Gava membalas melingkarkan tangan ke pinggang Adel.

Tak perlu waktu lama untuk Adel merasakan kembali bagaimana diperhatikan oleh orang yang spesial.

***

Bukan Daffa namanya jika bisa santai mengingat hubungannya dengan Adel sedang tak baik. Berdiri di ambang pintu, Daffa menyentuh pipinya yang baru saja dikecup oleh mantan kekasihnya sendiri. Jantungnya berdegup lebih kencang, dan entah karena apa terasa begitu menyakitkan di saat yang bersamaan.

Untuk kali ini, Daffa baru merasakan bagaimana rasanya menjadi 'laki-laki'.

TBC

Part garing beneran dah:"
Semoga kalian suka deh, biarpun partnya eror dikit.

Di part ini cuma pengulangan gitu sih. Pengulangan kalo Gava sayang sama Adel, padahal di chap sebelumnya juga udah ditegaskan kalau Gava emang suka sama Adel. Terus ttg Ibunda Adel, di chap ini juga pengulangan aja.

Di chap depan ada kejutan buat kalian tentang Adel dan Reysa. Daaaannnn... tinggal menghitung pakai jari, FDTA bakal mencapai endingnya.

OK, LUV U ALL,
15-11-2017

From Daffa To Adel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang