[END] Bab Dua Puluh Lima - Penyelesaian.

10.3K 331 43
                                    

Tak ada yang lebih buruk dibanding melepaskan orang yang kita cintai. Mereka kadang mencoba, namun kadang pasrah. Kadang mereka sedih karena satu hal, lalu senang pada hal yang sama di waktu yang berbeda. Semua ini yang menjadikan Daffa tak kuasa untuk membendung rasa sesak yang ia buat sendiri. Daffa ingin Adel kembali untuknya, kalaupun ada beberapa hal yang harus direlakan. Daffa ingin kembali seperti dulu, dan merasakan hangatnya perempuan itu.

Percuma berharap, itu malah menambah sakit. Ditambah dengan mengingat Adel sudah jatuh di tangan orang lain.

Daffa memandang langit sore di atas motornya sendirian, merangkai satu kejadian ke kejadian lainnya.

Kalau dipikir-pikir, insiden ini sama seperti saat ia baru putus dengan Reysa. Mencoba mencari pelampiasan, dengan alasan ingin melupakan dia yang menyakiti. Akankah nanti Adel akan melakukan hal yang sama seperti Daffa? Lalu Gava akan merasakan apa yang Adel rasa selama ini?

Beda penulis beda cerita. Reysa sudah tak menampakkan batang hidungnya di depan Daffa, tak berkomunikasi dengan Adel sedikitpun. Dan sekarang Adel yang memulai untuk menulis ceritanya.

Sekarang Daffa mulai mengerti. Setiap tokoh antagonis tak selalu jahat. Mereka memiliki perasaan yang sama, hati yang sama. Jika kita lihat mereka dari sudut yang berbeda, mereka adalah sosok yang sedang mencari celah cahaya, mencoba mendapatkan apa yang diinginkan pada umumnya.

"Lio."

Laki-laki yang sedang bermain basket itu menengok ketika merasa namanya disebut. Daffa yang ada di atas motor segera memakai helm dan bersiap untuk melaju. "Gue mau pulang," katanya dingin. Lio tanpa harus melongo sudah mengerti apa yang Daffa maksud. Berjalan lalu menepuk pundak Daffa simpati, Lio berucap, "Nggak ada yang meraih bintang tanpa tangan penuh lumpur."

Kemudian Lio menjauh, ikut memandang langit sore, "Perjalanan lo masih panjang, Daf. Sama kayak gue, Gava, dan yang lainnya."

Ada sesuatu yang mendorong Daffa. Entah karena semangat Lio atau semangat dirinya mendengar kata-kata tersebut. Seulas senyum ia nampakkan untuk itu.

"Gue berterima kasih banyak sama lo."

Tanpa menunggu balasan, Daffa melajukan motornya. Kini ia tahu hendak kemana, ia tahu apa tujuannya. Tak peduli sesakit apa ia menerima balasannya nanti.

***

Dan ketika laki-laki itu memarkirkan motornya, Adel ada untuk membuka gerbang. Semuanya terasa kikuk, seperti orang baru bertemu. Padahal saat bertemu sebagai Ketua OSIS dan ketua geng bibir merah dulu, tak sekikuk ini.

Sedangkan Adel memalingkan wajah, Daffa mendekat, kemudian membuka gerbang yang belum tuntas Adel buka. Sangat dekat. Perempuan itu tak ingat kapan terakhir kali mereka sedekat ini. Rasanya begitu... tak terkendali.

"Mau apa?" tanya Adel mencoba mundur. Jika saja tangan kekar itu tak mencengkeram lengannya, Adel sudah pasti lari ke dalam rumah.

"Aku cuma mau minta maaf."

Adel yang tadinya memaksa untuk lepas dari cengkeraman Daffa, sekarang diam. Matanya tajam menghunus Daffa. "Telat, bego."

"Mendingan telat daripada nggak pernah." Daffa berprilaku senormal yang ia bisa. Membuatnya tetap menjadi Daffa si makhluk menyebalkan di mata Adel.

Bahkan sekarang, keduanya masih terjebak dalam kenangan masa lalu. Masih saling mengingat kejadian yang kini tak mungkin bisa terulang.

"Kalau kamu nggak pacaran sama Gava, mungkin aku udah ngajak balikkan. Tapi sayangnya, cacing mangap aku udah jadi milik orang lain."

From Daffa To Adel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang