Zahra sudah duduk di atas kursi putih, menunggu Julian datang menemuinya. Tak lama kemudian, dengan gayanya yang seperti biasa, Julian menghampiri Zahra lalu ia bergegas duduk di samping gadis itu.
"Ada apa, Ra?" tanya Julian. "Tumben kamu pengen ketemuan. Biasanya aku yang duluan ngajak kamu ketemuan."
"Kak." Zahra menoleh ke samping, menatap lekat Julian setelah menelan ludah.
"Hm?" sahut Julian, ia menatap Zahra heran, tak biasanya gadis itu berkata serius.
"Aku nggak bisa kayak gini terus."
"Maksud kamu?" Dahi Julian berkernyit.
"Aku nggak bisa pacaran lagi. Ini salah, Kak."
"Aku masih nggak ngerti, Zahra. Emangnya aku salah apa?" tanya Julian panik, ia benar-benar takut kehilangan Zahra.
"Aku nggak bisa pacaran, Kak. Ini salah. Ini dilarang agama."
"Aku nggak mau putus sama kamu, Ra."
"Tapi aku nggak mau terus pacaran, Kak. Ini salah. Salah!"
"Aku nggak mau putus. Titik!" bentak Julian marah.
"Kalau Kakak nggak mau putus..." Zahra terhenti.
"Zahra, kenapa? Aku salah apa?"
"Kakak nggak salah apa-apa."
"Terus, kenapa kamu minta putus?" Tangan Julian meraih tangan Zahra dan menggenggamnya lembut.
"Ini yang salah." Perlahan Zahra melepaskan genggaman tangan Julian. "Agama melarang hal-hal seperti ini. Hubungan ini adalah suatu keharaman."
Julian tercekat. Ia sudah tidak tahu lagi harus berkata apa untuk meyakinkan Zahra.
Zahra menunduk. "Maaf." Satu kata pelan terucap dari bibir manis Zahra.
"Jadi, selama ini kamu menganggap hubungan kita adalah suatu keharaman?" tanya Julian.
Zahra memanglingkan mukanya, mencoba menghindari tatapan sayu Julian.
Julian mengangguk mengerti lalu terdiam beberapa saat. "Baiklah kalau itu maumu. Ayo kita putus!"
Mata Zahra melebar kaget. Tapi ia tidak bisa memaksa Julian untuk menikahinya, usia mereka masih sangat muda untuk menjalin hubungan serius. Zahra masih enggan meminta Julian untuk meminangnya. Itulah sebabnya, ia memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Julian.
"Kalau kamu menganggap hubungan ini adalah suatu keharaman, maka ayo kita jadikan hubungan ini menjadi halal," ucap Julian tegas.
Mata Zahra kembali melebar. "Tapi..."
"Tapi apa? Kamu masih enggan karena usia kita?" potong Julian sebelum Zahra merampungkan perkataannya.
Zahra terdiam, jujur saja, ia masih enggan untuk menikah. Tapi ia juga masih enggan untuk mengakhiri hubungannya dengan Julian. Ia sangat mencintai Julian. Andaikan saja pacaran bukanlah suatu keharaman, tidak mungkin ia terjebak pada pilihan dilematis seperti ini.
"Kamu sayang aku kan?" tanya Julian.
Zahra mengangguk pelan, mengiyakan.
"Kamu percaya sama aku kan?" tanya Julian lagi, mencoba meyakinkan Zahra bahwa diriny siap menafkahi Zahra.
Zahra mengangguk lagi.
"Kalau begitu, ayo kita menikah," lanjut Julian. "Will you marry me?"
Zahra tertegun beberapa saat, lalu ia tersenyum sembari mengangguk pelan. Julian pun ikut tersenyum senang menatap Zahra, pujaaan hatinya. Sebentar lagi, pujaan hatinya itu akan menjadi miliknya selamanya dan seutuhnya. Rasanya ia ingin memeluk Zahra saat itu juga tapi tidak bisa. Karena pelukan sebelum pernikahan adalah suatu keharaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful Heart Zahra
SpiritualBerawal saat Zahra tidak sengaja tertabrak dengan seorang cowok bernama Julian Prasega yang merupakan idola kampus. Tabrakan itu membuat Flash disk penting milik Julian rusak sehingga Julian menuntut Zahra untuk bertanggung jawab atas file-file y...