19 :: menikmati pelukan di ujung waktu

10.1K 1.1K 32
                                    

"Kalau kamu lebih suka yang mana? Cowok humoris atau cowok yang romantis?"

"Aku? Aku lebih suka cowok humoris," kekehan kecil meluncur dari bibir (namakamu). "Mereka adalah bahagia yang sederhana. Mungkin cowok romantis menang dalam hal membuat kejutan, tapi cowok humoris menang dalam mencuri hati orang tua gadisnya. Kebanyakan, sih,"

"Emangnya kenapa? Kamu lagi deketin cewek?" Tanya (Namakamu) geli.

Iqbaal terkekeh sambil tersenyum malu. "Iya, tapi dia jauh.."

Sama kayak kamu, jauh untuk aku, batin (namakamu) meringis. (Namakamu) sedikit menyesal menanyakan hal ini pada Iqbaal. Ini sama saja membunuhnya perlahan, kala (namakamu) tahu jika Iqbaal sudah kembali menemukan pujaan hatinya.

"Kalau kamu cinta sama perempuan itu, kamu kejar sejauh apapun dia. Laki-laki sejati nggak akan menyerah gitu aja, iya kan?" Jelas dan tanya (namakamu). "Dia sejauh apa, sampai-sampai kamu hopeless begitu?"

"Kita pernah dekat. Tapi karena ada beberapa hal yang nggak bisa aku kasih tahu, hubungan kita terputus gitu aja. Tanpa kejelasan, lebih benarnya aku yang nggak pernah ngasih kejelasan sama dia. Aku pergi gitu aja, tanpa peduli sama perasaan dia. Jahat banget ya?"

(Namakamu) tersenyum kecil. Pandangan matanya mengabur karena air mata mulai menggenang di matanya. Saat Ia berkedip, air matanya menetes dan pandangannya kembali jernih. "Ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Itu jahat, banget."

Iqbaal sontak menoleh, suara (namakamu) terdengar bergetar. Benar saja, air mata sudah menetes di pipi gadis itu. Iqbaal bertanya pada dirinya sendiri, apa kesalahan yang Ia buat sampai gadis ini meneteskan air mata?

"Kok nangis?" Iqbaal mendekatkan wajahnya ke arah gadis yang sedang menunduk itu. "Aku salah ngomong?"

(Namakamu) menggeleng kuat-kuat. Ia menepis air mata di pipinya dengan punggung tangan kirinya. Ia menengadah, berusaha menghilangkan air mata yang masih menggenang di matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke panggung, bintang tamu sudah berganti menjadi Payung Teduh entah sejak kapan.

Iqbaal menghela napas. Ia mengambil kedua bahu (namakamu), menarik gadis itu ke dalam pelukan hangatnya. Entah apa yang membuat Iqbaal menenggelamkan (namakamu) ke dada bidangnya. Yang jelas, Iqbaal hanya tak ingin melihat (namakamu) menangis seperti ini.

Bila nanti saatnya tlah tiba, ku ingin kau menjadi istriku. Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan, berlarian kesana kemari dan tertawa.

Namun bila saat berpisah tlah tiba, ijinkanku menjaga dirimu. Berdua menikmati pelukan di ujung waktu, sudilah kau temani diriku.

(Namakamu) mengangkat tangannya dengan ragu. Melingkarkan lengannya di sekitar pinggang Iqbaal. Meremas kaos yang dipakai oleh laki-laki itu. (Namakamu) memejamkan matanya, menikmati lantunan indah dari lagu Akad, ditemani oleh pelukan hangat seorang Iqbaal Dhiafakhri.

Pelukan ini yang sudah Ia damba selama empat tahun lamanya. Pelukan dari orang yang selalu (Namakamu) harapkan. Pelukan yang Ia kira hanya akan menjadi mimpi, namun takdir membawanya bangun. Pelukan ini nyata, berusaha menenangkan (namakamu), yang justru membuat gadis itu lebih gencar meneteskan air mata.

(Namakamu) tersenyum dalam tangis.
Kamu adalah pelangi yang datang setelah hujan. Kamu adalah mentari yang datang setelah kelabu. Kamu adalah sang pelindung, yang datang untuk melengkapi hidupku.

Akankah ini bersifat selamanya? Atau mungkin, hanya bersifat sementara?

Jika kamu hanya bersifat sementara, aku belum siap untuk melepasmu; melepas semua tentang kamu. Bagaimana jadinya hariku tanpa tawa menenangkan milikmu itu? Bagaimana jadinya aku tanpa hadirmu?

Seharusnya aku sanggup untuk melepasmu, karena sejak awal, aku sudah terbiasa menjadi pemuja rahasiamu. Aku sudah terbiasa untuk tersakiti tanpa kamu sendiri yang menancapkan luka itu di hatiku.

Aku sudah terbiasa hidup tanpamu.
Tolong, jangan buat aku bergantung padamu.

Namun bila kau ingin sendiri, cepat-cepatlah sampaikan kepadaku. Agar ku tak berharap, dan buat kau bersedih..

Iqbaal mengelus rambut (namakamu) pelan. Menggoyangkan tubuh (namakamu) ke kanan dan kiri, mengikuti irama lagu.

Bila nanti saatnya tlah tiba, ku ingin kau menjadi istriku. Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan, berlarian kesana kemari dan tertawa..

Namun bila saat berpisah tlah tiba, ijinkanku menjaga dirimu. Berdua menikmati pelukan di ujung waktu, sudilah kau temani diriku?

(Namakamu) melepaskan pelukan itu. Menggigit bibir bawahnya malu. "Maaf, baju kamu basah." (Namakamu) merutuki dirinya sendiri. "Aku lancang, maaf."

"Ish, nggak pa-pa. Lagipula tadi aku duluan yang meluk kamu. Aku cuman.. nggak suka lihat cewek nangis. Apalagi mereka nangisin kaum adam seperti aku," Iqbaal menaruh telapak tangannya di atas kepala gadis itu, mengusapnya lembut. "Kalau kamu ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku lewat direct message Instagram. Nggak perlu sungkan. Kita sekarang teman, 'kan?"

Iqbaal mengangkat jari kelingkingnya. Menaikkan kedua alis laki-laki itu. Ia menunggu (namakamu) yang tampak berpikir keras. Namun tak lama, (namakamu) mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Iqbaal.

"Iya–teman."

***

Arkan mengepalkan tangan saat matanya menangkap (Namakamu) yang sedang berpelukan dengan Iqbaal di koridor. Matanya menajam, seolah siapapun yang ditatapnya akan mati hanya karena junusan matanya.

"Asal lo tahu, (Nam..), gue ngelakuin semua itu dengan alasan yang jelas. Andai lo ngerti posisi gue sekarang."

***

a/n; ((mulai bingung seperti apa cerita ini akan berlanjut, waduh waduh))

Bersenyawa [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang