L i m a B e l a s

3.8K 360 42
                                    

First, I would say Thank you for all my readers, officially 1K readerssssss, yeaaaaaay !

Maaf LEbay, but i really really happy, Semoga kebahagian ini tidak sampai disini saja.

Jadi sebagai Wujud terimakasih aku, aku post part ini buat kalian-kalian.

Kritik dan saran yang membangun diperkenankan dengan segala hormat hahayy..

Happy Reading Guys

***

Di sinilah Pagi sekarang, sendiri berdiri di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi, karena tidak berhasil menolak permintaan Gita, dan tidak berhasil mengajak Jea ikut bersamanya.

Dia benar-benar merasa gelisah karena memikirkan bagaimana dia akan bertemu dengan Gavin setelah dua pekan tidak pernah bertemu. Lagipula dia tidak sedekat itu dengan Gavin-ralat, sama sekali tidak dekat.

Berdiri di depan gerbang rumahnya saja membuat Pagi merinding.

Ditekannya sekali lagi bel yang ada di hadapannya hingga pagar hitam besar itu bergeser sendiri, dan terlihat seorang lelaki berpakaian serba hitam berlari kecil menghampirinya.

Pagi mundur selangkah. "Selamat malam, saya Pagi. Saya—"

"Oh, silahkan masuk Nona, tuan muda ada di dalam ... di kamarnya." Pagi membelalak, dia jadi merasa canggung, bahkan kedatangannya sudah sangat dinantikan seisi rumah kecuali Gavin tentunya.

"Iya, Pak, makasih," ujarnya tidak lupa dengan seulas senyum.

"Dengan senang hati, Non. Saya Pak Kus, kalau perlu apa-apa Nona bisa cari saya di pos depan garasi itu." Pagi tersenyum dan mengangguk.

"Ci, anterin Nona ini ke kamar tuan muda." Begitu kata pak Kus ketika mereka sudah berdiri di depan pintu berwarna putih bersih yang tidak kalah besarnya itu.

Sett, mainannya kamar. Mereka ini pasrah-pasrah aja gitu biarin gue ke kamar macan? Gak ngeri apa ya ninggalin gue disana? Ntar kalau gue mati konyol karena kebuasan Gavin gimana?

Apaan sih Pagi? Dia menggeleng sendiri, menghalau halusinasi berlebihnya.

"Saya Cici, mari saya antarkan."

"Eng ... makasih, Mbak." Cici tersenyum ramah dan menuntun Pagi masuk kedalam rumah mewah tersebut.

"Tadi terakhir kali saya lihat Tuan di kamarnya." Pagi mengangguk sambil trus berjalan mengamati seluruh penjuru rumah besar itu, terdapat beberapa lukisan berbagai ukuran. tidak ada foto keluarga dan semacamnya, aneh juga di rumah sebesar ini bahkan tidak ada foto pemilik rumah itu sendiri.

Tanpa sadar Pagi sudah berdiri di salah satu pintu berwarna hitam, sangat mencolok dengan rumah yang di dominasi warna-warna pastel, ini pasti berkat tangan maminya Gavin. Kecuali pintu hitam yang belum dibuka saja sudah memberikan aura mistis. Lagi-lagi Pagi bergidik ngeri.

Lamunannya buyar saat Cici memegang lengannya. "Sudah sampai, Non."

"Ah iya. Makasih, Mbak."

"Saya tinggal dulu, saya siapkan makan malam buat Nona dan tuan."

Pagi membalasnya dengan senyumannya.

Sepeninggal Cici, beberapa kali Pagi menarik napas dan membuangnya untuk meredakan kegugupannya. Hingga akhirnya dia memutuskan mengetuk pintu hitam pekat itu.

Tok..tok..tok

Pagi menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar apakah ada sahutan dari dalam.

#1 Pagi untuk Gavin ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang